Khilafah yang Khilafiyah
Sejarah Islam menorehkan sebuah catatan berharga, Muhammad memang diutus untuk memberi kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Kabar kemenangan yang bersifat ukhrawi, kebahagiaan surga abadi bagi manusia-manusia beriman. Sekaligus, pada saat yang sama memberi petunjuk keteraturan dalam bentuk praktek negara Madinah. Konstruksi negara Madinah lalu diadopsi secara konseptual oleh para ilmuwan modern sebagai negara madani, dengan maksud mengambil spirit keadilan yang telah dipraktekkan oleh generasi pertama Islam ini.
Generasi khilafah rasyidah empat sahabat mulia (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) masih mencatat keberhasilan implementasi ajaran Tuhan. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah berikutnya, fragmen penuh darah sempat diperlihatkan oleh penerusnya. Bahkan cucu tersayang Rasulullah, yaitu Husein bin Ali wafat di Padang Karbala. Nasib buruk kaum muslimin lalu jatuh dalam otoritarianisme Muawiyah dan Abbasiyah. Walaupun tetap merupakan negara Islam, namun banyak catatan bagi dua dinasti besar itu.
Jika kita mengandaikan konstruksi khilafah kembali terbentuk, maka bentuk seperti apa yang dinginkan. Pertanyaannya, di era dunia memasuki globalisasi dengan segala konsekuensi budaya, politik, ekonomi dan sosial seperti ini, bagamana prospek negara khilafah tersebut? Ada baiknya juga wacana ini dikaitkan dengan realitas politik Indonesia yang memberlakukan demokrasi sebagai sistem politiknya.
Globalisasi Tak Terelakkan
Keadaan terkini yang harus kita hadapi adalah globalisasi. Saat dunia seakan tiada sekat batas. Konflik agama dan etnis telah berkembang dari isu lokal menjadi isu internasional atau mengglobal. Budaya McDonald, Coca-cola, Chip, Microsoft, ponsel dan terakhir WIFI (wireless fidality), telah berkembang ke seluruh dunia membentuk peradaban baru. Bahkan beberapa pribadi kemudian dapat dikenal menjadi manusia global.
Globalisasi—yang dalam kacamata ideologi dinamakan globalisme—disebut juga sebagai konsep “transnasionalisme, supranasionalisme atau ekstranasionalisme” yang secara otomatis telah menggantikan konsep “country, power-superpower, atau state-nation” pada abad-17 dan menghancurkan kekhalifahan Utsmaniyyah berkeping-keping ke dalam bangsa-bangsa muslim yang kecil dan lemah. Bahkan dalam konteks internasional, globalisme telah berkembang menjadi berkonotasi hegemoni, yaitu suatu istilah yang diartikan sebagai suatu center of power untuk mengendalikan tatanan dunia tanpa ada yang dapat menahan atau mencegah kehendaknya.
Fenomena globalisasi ini memiliki dwi-wujud. Pertama adalah terjadinya independensi lokal. Setiap negara meneguhkan kekuatannya sendiri, membentuk sebuah ikatan primordial yang kuat. Gejala ini bisa nampak di berbagai belahan dunia. Salah satu turunan kecenderungan ini adalah federalisasi negara, jika di Indonesia maka kita lihat potret otonomi daerah. Kekuatan sebuah negara bertumpu pada lokalitas.
Kedua, antara komunitas lokal yang kuat tersebut, lalu menjalin kerjsasama simbiosis mutualisme. Kedekatan psikologis, budaya, ekonomi dan politik menjadi dasar bagi bersatunya entitas daerah yang berbeda—hatta secara geografis. Misal yang mencolok adalah lahirnya MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) yang mendorong lahirnya mata uang Euro sebagai wujud bersatunya seluruh daratan Eropa dalam kesatuan ekonomi-politik.
Dalam konteks globalisasi seperti ini, maka bagaimana menempatkan wacana khilafah? Sementara masyarakat Islam di penjuru dunia masih berada dalam kondisi tidak menguntungkan. Negara-negara yang berlabel Islam, ternyata masih banyak memiliki rezim otoriter yang sama sekali jauh dari spirit Islam. Alih-alih muncul kekuatan lokal yang kokoh, justru saling menjatuhkan antar sesama negara Islam tersebut, sebut saja Iran dan Irak yang masih tersekat oleh isu perbedaan madzhab Sunni-Syiah. Tantangan ini yang menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat).
Khilafah, bagaimanapun, adalah lahirnya sebuah tatanan yang mensejahterakan rakyatnya. Atau dalam terminologi Ismail Raji’ al-Faruqi disebut sebagai komunitas al-Ummah. Kesejahteraan ini masih jauh panggang dari api. Indeks kemiskinan di negara-negara Islam masih sangat tinggi.
Konstruksi Khilafah
Memiliki cita-cita, setidaknya sudah tergambar dalam benak kita tentang hal itu. Keinginan menjadi dokter tentunya diilhami oleh paramedis yang bisa menolong banyak orang di rumah sakit. Cita-cita menjadi politisi muncul setelah nampak kekuatan birokrat yang bisa mempengaruhi banyak orang. Nah, jika cita-cita yang terbangun adalah membentuk khilafah, bagaimana konstruksi yang akan dibangun?
Sejarah emas umat Islam (the Golden Age) memang pernah muncul. Saat Islam menjadi penguasa dunia, hampir dua pertiga bulatan bumi ini berkumandang syahadat keesaan Allah. Namun, realitas pasca renaissance Barat dan bangkitnya nafsu kolonialisme pada abad 17, telah meluluhlantakkan kejayaan Islam. Di sinilah kita jangan terus-menerus terjebak dalam nostalgia masa lalu. Mengangung-agungkan masa lalu akan membuat kaum muslimin bangga diri tapi melupakan keadaan diri yang nyata.
Pada masa Kesultanan Turki Utsmani pernah lahir berbagai macam negara penyangga (buffer state), sebagaimana Dinasti Aghlabiyah di Sisilia, Kesultanan Ternate-Tidore-Bacan-Jailolo di Maluku. Juga Demak dan Samudra Pasai. Hubungan politis antara negara Islam lintas geografis tersebut memang pernah lahir. Jika kita lihat keadaan sekarang, mungkinkah bentuk khilafah akan ada, di tengah penguatan lokal?
Kedua, jika kita mendudukkan wacana khilafah dalam konteks keindonesiaan, yang harus difikirkan adalah bagaimana agar compatible dengan sistem politik kenegaraan di Nusantara ini. Jelas tidak mungkin mengadakan sebuah revolusi sistem dan birokrasi di Indonesia. Sebuah ketiba-tibaan sama dengan pembunuhan lebih awal bagi wacana kebangkitan Islam.
Tahapan yang dibangun menuju khilafah ini hendaknya memperhatikan aspek kultural. Jika membangun kultur tanpa struktur, maka struktur itu akan lebih cepat hancur. Buktinya adalah Sudan. Saat konstitusi Islami lahir di Sudan, pertikaian dengan Sudan selatan yang Kristen belum tuntas, yang terjadi adalah kudeta militer. Kebangkitan Islam lalu mati muda. Aspek kultural ini meliputi kesejahteraan masyarakat, tingkat pengetahuan yang tinggi dan partisipasi dalam pemerintahan.
Indonesia memakai sistem demokrasi. Pelibatan seluruh komponen menjadi niscaya, karena dijamin hak-haknya secara penuh oleh perundang-undangan. Menurut hemat saya, membangun khilafah tanpa menyejahterakan adalah kesia-siaan. Karena itu, mungkin harus difikirkan kembali: wacana khilafah ini terlalu prematur tidak? Bukankah lebih baik kaum muslimin memaksimalkan potensi negara Indonesia—dengan segala perangkat sistem, ideologi dan birokrasinya—untuk memakmurkan rakyat. Penumbuhan kesadaran politik (al-wa’yu al-siyasi) berjalan di antaranya.
Sunday, May 20, 2007
Menimbang Religiusitas Sinetron Kita
Seorang wanita tuna susila berada dalam kamar bersama lelaki hidung belang. Sebelumnya sempat mengiba tangis dan berkata bahwa dia melakukan hal ini karena kondisi keuangan keluarga yang amburadul, suami tidak bekerja dan anak-anak butuh makan. Setelah selesai, dia menerima segepok uang sembari tersenyum. Adegan berikutnya adalah sang suami yang di rumah, bekerja keras, utang sana-sini, hidup dalam rumah reot. Akhir tayangan adalah matinya si sitri durhaka dan mendapat azab di kuburnya. Judul sinetron kali ini adalah “Jenazah Digencet Kuburan.”
Sinetron di atas, dimasukkan dalam genre “sinetron religius”. Asumsinya adalah mendakwahkan nilai-nilai keagamaan kepada pemirsa dan mendidik moral penonton agar semakin baik. Takut berbuat maksiat dan selalu mengingat Tuhan dalam seluruh detik hidupnya. Namun sudah tercapaikah keinginan itu? Atau, sebetulnya secara pelan tapi pasti telah terjadi pembodohan sistematik terhadap masyarakat awam?
Menjawab pertanyaan ini, setidaknya terdapat beberapa analisis. Pertama, media televisi digolongkan oleh pemikir komunikasi Marshal McLuhan sebagai media dingin (cold medium). Klasifikasi media massa ke dalam dua dikotomi, media panas dan media dingin. Distingsi tersebut merefleksikan dua kutub relasi kontrol dengan pemirsanya. Media dingin lebih cenderung liar dan otoritarian lewat tampilan visualnya, sementara media panas lebih dialogis dan sensitif terhadap kritik dan kontrol pembacanya. Jenis kedua diwakili oleh media cetak.
Selain itu, televisi merupakan teknologi media massa yang punya daya provokasi paling tinggi. Setidaknya hal ini sudah diungkapkan oleh McLuhan, bahwa media televisi memang syarat dengan multi-interpretasi. Ketika program televisi menayangkan acara-acara yang “mengancam pembodohan” masyarakat, banyak yang protes dan pro kontra. Tetapi, saat dikembalikan kepada pihak televisi, argumentasi yang sering dikeluarkan adalah bahwa acara-acara televisi saat ini merupakan cerminan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya.
Dengan demikian mudah bagi televisi untuk mencekoki masyarakat berbagai macam pola pikir, termasuk yang jauh dari realitas, kita seolah diajak kembali kepada pola pikir tradisional (back to tradisional), sehingga lupa bahwa saat ini berada pada era globalisasi. Barangkali selera masyarakat tersebut menunjukkan adanya krisis dimensional yang melanda bangsa kita. Seolah-olah kita sebagai bangsa yang sedang mencari-cari jati diri sehingga rela saja ketika pikiran-pikiran dirasuki hal-hal yang menyesatkan. Lucunya lagi, meskipun pemirsa takut, tidak ada itikad untuk menghindarinya, malah mengharapkan agar episode mendatang lebih seru lagi.
Di sinilah, peran televisi sebagai media satu arah yang mampu memprovokasi dan menciptakan imaji seliar apapun dalam benak pemirsa semestinya mampu disadari oleh pihak pengelola. Orientasi pada “pemaparan kebenaran” harusnya menjadi dominan dalam program-program yang ditayangkan. Rasionalitas menjadi alas yang utama, selain dalil keagamaan. Jika tayangan bersifat klenik dan mistik berlebihan, alih-alih mereligiuskan masyarakat, justru menjadikan umat semakin buta akidah.
Kedua, gejala hiper-realitas dalam masyarakat. Sebuah kondisi dimana citra yang ditampilkan dalam sinetron dianggap, diyakini, dan dirasakan—baik dengan sadar atau tidak sadar—sebagai sesuatu yang nyata, atau bahkan lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Teori hiper-realitas ini mencukupi untuk digunakan sebagai pendekatan terhadap fenomena “sinetron religius” dan dampaknya bagi masyarakat.
Hiperealitas (hyper-reality) adalah istilah yang sering dimunculkan oleh para teoretisi postmodern, semisal Jean Baudrillard, Roland Barthes, atau Marshal McLuhan, dalam menyoal tingkah polah manusia modern yang bergelimang dalam lautan informasi dan citra yang disebarkan oleh media massa. Teori ini adalah perkembangan lebih lanjut dari marxisme. Jika dalam marxisme diasumsikan bahwa manusia mengkonsumsi nilai guna barang, maka dalam hiperealisme ini tinjauannya bergeser: yang dikonsumsi adalah citra yang ditampilkan barang.
Dalam konteks “sinetron religius”, tayangan kontradiktif antara miskin dan kaya akan menancap dan mencipta—bukan hanya kesan atau citra—tapi juga karakter. Seringkali dalam tayangan itu, seorang yang beriman, rajin ke masjid, dan shaleh dikesankan sebagai orang yang miskin, tertindas, teraniaya dan menjadi semakin beriman dengan kepapaannya itu. Di sisi lain, orang kaya, sukses, memiliki mobil dan rumah mewah, dikesankan sebagai pendurhaka Tuhan dan pelawan syariat. Biasanya memiliki akhir hidup mengenaskan. Jika tidak mendapat kutukan Tuhan, di kuburnya mengalami sebuah siksaan dahsyat.
Efeknya adalah sebuah kesan identifikasi keberimanan seseorang dengan kemiskinannya. Sementara yang durhaka cenderung mudah menjadi kaya. Lalu, pemahamannya diperluas: kekayaan bagi seorang muslim itu adalah (hanya) iman kepada Tuhan tanpa perlu memiliki nominal rupiah yang banyak. Citra ini yang menancap, lalu menjadi sebuah karakter yang utuh. Produktivitas adalah sesuatu yang sia-sia dan tidak terlalu berguna. Kecenderungan jabbariyyah (fatalisme) inilah yang seringkali diangkat oleh “sinetron religius” kita.
Ketiga, tentang prosentase tayangan. Pada beberapa episode sinetron religius, melukiskan adegan ketunasusilaan, foya-foya di kasino dan tindakan negatif lainnya di awal babak. Berikutnya baru tampilan lelaki bersarung, perempuan bermukena yang melakukan sholat dan berdoa. Selebihnya, dimuati dengan bumbu kekerasan, pemukulan, perjudian dan pornografi. Secara acak, pernah penulis menghitung durasi tayangan antara negatif dan positif. Ternyata jumlah durasi waktu yang memuat adegan negatif mencapai 75 persen, sementara sisanya barulah tampilan dan contoh-contoh kesalehan pelaku.
Memang pada awalnya, alur cerita ditujukan pada tindakan “pertobatan” dan “kesadaran kembali terhadap keberimanan”, namun efektivitas bangunan audio visual ternyata masih belum terbangun. Alih-alih mengarahkan pemirsa menjadi alim, justru memberi contoh sekaligus provokasi tindakan dan perbuatan negatif tersebut.
Prosentase yang mencapai 75 persen dari durasi tayang jelas sangat banyak. Otak pemirsa akan sangat cepat merekam jika terus menerus dibombardir dengan sebuah citraan dari televisi. Terlebih lagi berwujud gambar hidup tiga dimensi. Selanjutnya, saat citra melekat akan lahir dalam perbuatan. Dan akhirnya kebiasaan menjadi karakter. Di sinilah kita bisa menyatakan bahwa “sinetron religius” di satu sisi mengajari kebaikan, tapi di sisi lain, dalam alam bawah sadar mengajari tindakan negatif-asusila.
Sebagai penutup, televisi tetap merupakan media yang efektif untuk mensosialisasikan sesuatu kepada masyarakat. Keberadaannya menjadi mutlak bagi sebuah masyarakat informasi. Yang harus diingat bahwa media bukan semata-mata alat untuk mencari keuntungan finansial, tetapi juga mengemban misi moral untuk mencerdaskan masyarakat. Jika televisi mampu memberikan tayangan mencerdaskan, rasional, sekaligus religius dalam pengertian yang sebenarnya, tentunya akan ikut memberikan pendidikan yang mencerdaskan
Seorang wanita tuna susila berada dalam kamar bersama lelaki hidung belang. Sebelumnya sempat mengiba tangis dan berkata bahwa dia melakukan hal ini karena kondisi keuangan keluarga yang amburadul, suami tidak bekerja dan anak-anak butuh makan. Setelah selesai, dia menerima segepok uang sembari tersenyum. Adegan berikutnya adalah sang suami yang di rumah, bekerja keras, utang sana-sini, hidup dalam rumah reot. Akhir tayangan adalah matinya si sitri durhaka dan mendapat azab di kuburnya. Judul sinetron kali ini adalah “Jenazah Digencet Kuburan.”
Sinetron di atas, dimasukkan dalam genre “sinetron religius”. Asumsinya adalah mendakwahkan nilai-nilai keagamaan kepada pemirsa dan mendidik moral penonton agar semakin baik. Takut berbuat maksiat dan selalu mengingat Tuhan dalam seluruh detik hidupnya. Namun sudah tercapaikah keinginan itu? Atau, sebetulnya secara pelan tapi pasti telah terjadi pembodohan sistematik terhadap masyarakat awam?
Menjawab pertanyaan ini, setidaknya terdapat beberapa analisis. Pertama, media televisi digolongkan oleh pemikir komunikasi Marshal McLuhan sebagai media dingin (cold medium). Klasifikasi media massa ke dalam dua dikotomi, media panas dan media dingin. Distingsi tersebut merefleksikan dua kutub relasi kontrol dengan pemirsanya. Media dingin lebih cenderung liar dan otoritarian lewat tampilan visualnya, sementara media panas lebih dialogis dan sensitif terhadap kritik dan kontrol pembacanya. Jenis kedua diwakili oleh media cetak.
Selain itu, televisi merupakan teknologi media massa yang punya daya provokasi paling tinggi. Setidaknya hal ini sudah diungkapkan oleh McLuhan, bahwa media televisi memang syarat dengan multi-interpretasi. Ketika program televisi menayangkan acara-acara yang “mengancam pembodohan” masyarakat, banyak yang protes dan pro kontra. Tetapi, saat dikembalikan kepada pihak televisi, argumentasi yang sering dikeluarkan adalah bahwa acara-acara televisi saat ini merupakan cerminan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya.
Dengan demikian mudah bagi televisi untuk mencekoki masyarakat berbagai macam pola pikir, termasuk yang jauh dari realitas, kita seolah diajak kembali kepada pola pikir tradisional (back to tradisional), sehingga lupa bahwa saat ini berada pada era globalisasi. Barangkali selera masyarakat tersebut menunjukkan adanya krisis dimensional yang melanda bangsa kita. Seolah-olah kita sebagai bangsa yang sedang mencari-cari jati diri sehingga rela saja ketika pikiran-pikiran dirasuki hal-hal yang menyesatkan. Lucunya lagi, meskipun pemirsa takut, tidak ada itikad untuk menghindarinya, malah mengharapkan agar episode mendatang lebih seru lagi.
Di sinilah, peran televisi sebagai media satu arah yang mampu memprovokasi dan menciptakan imaji seliar apapun dalam benak pemirsa semestinya mampu disadari oleh pihak pengelola. Orientasi pada “pemaparan kebenaran” harusnya menjadi dominan dalam program-program yang ditayangkan. Rasionalitas menjadi alas yang utama, selain dalil keagamaan. Jika tayangan bersifat klenik dan mistik berlebihan, alih-alih mereligiuskan masyarakat, justru menjadikan umat semakin buta akidah.
Kedua, gejala hiper-realitas dalam masyarakat. Sebuah kondisi dimana citra yang ditampilkan dalam sinetron dianggap, diyakini, dan dirasakan—baik dengan sadar atau tidak sadar—sebagai sesuatu yang nyata, atau bahkan lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Teori hiper-realitas ini mencukupi untuk digunakan sebagai pendekatan terhadap fenomena “sinetron religius” dan dampaknya bagi masyarakat.
Hiperealitas (hyper-reality) adalah istilah yang sering dimunculkan oleh para teoretisi postmodern, semisal Jean Baudrillard, Roland Barthes, atau Marshal McLuhan, dalam menyoal tingkah polah manusia modern yang bergelimang dalam lautan informasi dan citra yang disebarkan oleh media massa. Teori ini adalah perkembangan lebih lanjut dari marxisme. Jika dalam marxisme diasumsikan bahwa manusia mengkonsumsi nilai guna barang, maka dalam hiperealisme ini tinjauannya bergeser: yang dikonsumsi adalah citra yang ditampilkan barang.
Dalam konteks “sinetron religius”, tayangan kontradiktif antara miskin dan kaya akan menancap dan mencipta—bukan hanya kesan atau citra—tapi juga karakter. Seringkali dalam tayangan itu, seorang yang beriman, rajin ke masjid, dan shaleh dikesankan sebagai orang yang miskin, tertindas, teraniaya dan menjadi semakin beriman dengan kepapaannya itu. Di sisi lain, orang kaya, sukses, memiliki mobil dan rumah mewah, dikesankan sebagai pendurhaka Tuhan dan pelawan syariat. Biasanya memiliki akhir hidup mengenaskan. Jika tidak mendapat kutukan Tuhan, di kuburnya mengalami sebuah siksaan dahsyat.
Efeknya adalah sebuah kesan identifikasi keberimanan seseorang dengan kemiskinannya. Sementara yang durhaka cenderung mudah menjadi kaya. Lalu, pemahamannya diperluas: kekayaan bagi seorang muslim itu adalah (hanya) iman kepada Tuhan tanpa perlu memiliki nominal rupiah yang banyak. Citra ini yang menancap, lalu menjadi sebuah karakter yang utuh. Produktivitas adalah sesuatu yang sia-sia dan tidak terlalu berguna. Kecenderungan jabbariyyah (fatalisme) inilah yang seringkali diangkat oleh “sinetron religius” kita.
Ketiga, tentang prosentase tayangan. Pada beberapa episode sinetron religius, melukiskan adegan ketunasusilaan, foya-foya di kasino dan tindakan negatif lainnya di awal babak. Berikutnya baru tampilan lelaki bersarung, perempuan bermukena yang melakukan sholat dan berdoa. Selebihnya, dimuati dengan bumbu kekerasan, pemukulan, perjudian dan pornografi. Secara acak, pernah penulis menghitung durasi tayangan antara negatif dan positif. Ternyata jumlah durasi waktu yang memuat adegan negatif mencapai 75 persen, sementara sisanya barulah tampilan dan contoh-contoh kesalehan pelaku.
Memang pada awalnya, alur cerita ditujukan pada tindakan “pertobatan” dan “kesadaran kembali terhadap keberimanan”, namun efektivitas bangunan audio visual ternyata masih belum terbangun. Alih-alih mengarahkan pemirsa menjadi alim, justru memberi contoh sekaligus provokasi tindakan dan perbuatan negatif tersebut.
Prosentase yang mencapai 75 persen dari durasi tayang jelas sangat banyak. Otak pemirsa akan sangat cepat merekam jika terus menerus dibombardir dengan sebuah citraan dari televisi. Terlebih lagi berwujud gambar hidup tiga dimensi. Selanjutnya, saat citra melekat akan lahir dalam perbuatan. Dan akhirnya kebiasaan menjadi karakter. Di sinilah kita bisa menyatakan bahwa “sinetron religius” di satu sisi mengajari kebaikan, tapi di sisi lain, dalam alam bawah sadar mengajari tindakan negatif-asusila.
Sebagai penutup, televisi tetap merupakan media yang efektif untuk mensosialisasikan sesuatu kepada masyarakat. Keberadaannya menjadi mutlak bagi sebuah masyarakat informasi. Yang harus diingat bahwa media bukan semata-mata alat untuk mencari keuntungan finansial, tetapi juga mengemban misi moral untuk mencerdaskan masyarakat. Jika televisi mampu memberikan tayangan mencerdaskan, rasional, sekaligus religius dalam pengertian yang sebenarnya, tentunya akan ikut memberikan pendidikan yang mencerdaskan
Amin Sudarsono
Mengapa KAMMI Harus Lahir ?
“Semua ideologi yang berorientasi pada strategi revolusi, menganggap pemuda
sebagai tenaga paling revolusioner yang telah dan terjadi di seantero dunia ini”
[Fathi Yakan]
SEMBILAN tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 Maret 1998, dibacakanlah Deklarasi Malang sebagai proklamasi kelahiran sebuah organ gerakan mahasiswa muslim yang baru, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Pembacaan dilakukan oleh Fahri Hamzah, yang kemudian didaulat menjadi ketua pertama dengan didampingi Haryo Setyoko sebagai sekretaris umum. Peristiwa bersejarah itu kemudian diabadikan sebagai hari milad KAMMI.
KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis mahasiswa muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) di seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktivis dakwah kampus.
Mengapa harus muncul KAMMI, sementara pada saat yang bersamaan sudah ada berbagai macam organisasi ekstra kampus yang lain, yang juga merupakan gerakan mahasiswa muslim? Pada konteks seperti apakah KAMMI menemukan momentum kelahirannya? Latar belakang, samping dan depan seperti apakah yang menyebabkan KAMMI muncul sebagai kekuatan baru bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan itu mungkin muncul di benak para pengamat, atau bahkan pertanyaan mudah semisal, “bagaimana mungkin KAMMI mampu mengumpulkan massa sebanyak 20.000 orang saat usianya baru satu bulan?”
Karena itu, merupakan suatu hal yang signifikan untuk menguak latar belakang dan situasi yang mendukung lahirnya KAMMI sebagai salah satu organ gerakan mahasiswa pembawa gerbong reformasi Indonesia.
Mahasiswa Dilarang Berpolitik !
Sangat jelas, bahwa pemerintah memiliki ketakutan luar biasa terhadap mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa adalah sosok yang mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999). Dalam konteks Orde Baru, ideologi politiknya telah benar-benar menjadi hegemonik bagi warganya sendiri. Sehingga dalam kondisi seperti itu, pemerintah yang korup dan bobrok tetap mampu mengendalikan gejolak rakyatnya. Kecuali mahasiswa !
Cara berpolitiknya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral (etik). Disini harus difahamkan bahwa gerakan mahasiswa harus senantiasa berangkat dari kesadaran moral di mana mereka tidak perlu masuk dalam wiayah politik kekuasaan. Tetapi bukan berarti mahasiswa tidak boleh berbicara politik. Gerakan mahasiswa harus mendorong proses politik menuju moralitas politik. Gerakan moral dapat berimplikasi politis, karena tidak ada perubahan tanpa kebijakan politik.
Dalam menjalankan pemerintahannya terutama pertengahan 70-an Soeharto mulai menuai kritik dari mahasiswa dan masyarakat oleh KKN yang dipelopori keluarga Cendana (baca: Soeharto). Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama tragedi Malari (15 Januari 1974) yang salah satu tokohnya adalah Hariman Siregar.
Mahasiswa dengan segenap kemampuan, terus berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah yang membuat kerugian bagi bangsa dan rakyat. Mereka turun ke jalan, masuk ke denyut parlemen, dan melakukan negosiasi dengan para decision maker di republik ini. Ternyata, hal itu membuat pemerintah gerah. Lalu, pada tahun 1978, melalui Mendikbud Daoed Joesoef, dikeluarkan sebuah SK tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).
Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat ilmiah.
Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit semester, mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah. Mulai saat itu gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah semakin otoriter, represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Beberapa aksi mahasiswa dan penentang kebijakan pemerintah selalu dikaitkan, hubungan-hubungan bahwa aksi yang dilakukan ditunggangi oleh pihak tertentu. Hampir seluruh kegiatan mahasiswa dicurigai, diteror, dan ditangkap oleh aparat antek-antek pemerintah di kampus (baca: rektor) yang sedikit banyak berdampak pada massivitas gerakan mahasiswa.
Kampus: Karantina Politik
Ada sebuah analog menarik yang disampaikan oleh Ignas Kleiden. Diawali sebuah pertanyaan, “bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai wunderkinder politik (anak-anak ajaib dalam politik)?”. Dalam tulisannya itu (Tempo, 4 Januari 1999), Kleiden mencoba menjelaskan bahwa fenomena meledaknya gerakan mahasiswa adalah karena sebetulnya, pelarangan kegiatan berpolitik bagi mahasiswa pada masa Orde Baru bukanlah “Pulau Buru” untuk politik, tetapi lebih mirip karantina yang melindungi mahasiswa dari kuman dan virus.
Untuk mereka yang hidup dalam karantina, lanjut Kleiden, politik tradisional ini penuh aksesori, tetapi terlalu sederhana dalam tematisnya: kedudukan, kekuasaan, fasilitas, keberanian korupsi dan kesediaan untuk menyenangkan kesenangan yang lebih tinggi. Yang tidak diduga adalah “anak-anak karantina” itu tidak mengenal tradisi politik demikian. Mereka rupanya telah mengamati dengan telaten apa saja yang menjadi pola strategi anti-demokrasi yang berulang-ulang diterapkan dan pada akhirnya menemukan jalan untuk menghadapinya.
Akar dari kemunculan anak-anak muda ini menurut Eep Saefullah Fatah (Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, 1998) bisa dilacak sekurangnya tiga faktor. Pertama, ekses pendidikan politik Orde Baru yang tertutup yang menimbulkan banyak kekecewaan. Ketidakpuasan terhadap mekanisme pendidikan yang tertutup di awal-awal Orde Baru, membuat mereka banyak menggali dan mencari di luar jatah belajar resmi di kampus. Kedua, kemunculan anak-anak muda yang bersemangat ini adalah satu hasil dari transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Makin besarnya peluang berpendidikan tinggi, makin terbuka peluang mobilitas vertikal secara ekonomis. Hal itu menumbuhkan komunitas kritis dan well informed di tengah masyarakat. Ketiga, ekspresi dari kekecewaan terhadap politik pembangunan (developmentalisme) yang menimbulkan ketimpangan sosial yang parah.
Dalam halnya mahasiswa muslim, ruang karantina itu menjadi semakin steril ketika bertemu dengan variabel masjid. Hal inilah yang disinggung oleh Eep (Hidayatullah, Edisi 01/Th. XI Muharram 1419) ketika menganalisis bahwa pertemuan antara masjid, sebagai ruang “suci” dan penuh nuansa religius spiritual, dengan kampus—simbol intelektualitas dan pencetak tenaga pembangun bangsa—merupakan sinergi yang sangat mendukung berkembangnya bibit KAMMI di kemudian hari.
Kampus merupakan ruang yang relatif aman untuk bergerak di tengah kokohnya negara. Sedangkan masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. “Saat ini masjid merupakan suatu tempat dimana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik,” katanya. Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan dua variabel itu dengan baik. “Mereka muncul dari basis kampus dan bergerak ke masjid”. Karenanya ia memandang KAMMI berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan. "KAMMI memiliki massa yang besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan yang luas di luar kampus,” ramal Eep.
Islam Politik Dikebiri
Umat Islam di Indonesia, sejatinya mengalami pengebirian politik. Menurut Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam, 1997), Islam Politik inilah yang dibenci dan ditekan oleh negara agar tidak berkembang. Mengapa Islam secara politik dihalangi oleh negara? Menurut Kunto, mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat dalam terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional, zaman Belanda dan NKRI (“DI/TII”) menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam politik”.
Sejak kemerdekaan, Indonesia memang telah mengalami berbagai sistem politik. Pemilu pertama dalam sistem parlementer menghasilkan pemerintahan yang sering dikatakan tidak stabil. Ujung-ujungnya, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, sekaligus memberikan kekuasaan besar kepada Presiden Soekano.
Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama, yang kemudian bertahan selama 32 tahun.
Pada awal Orde Baru (1966-1967) ketika akan dibentuk PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia), negara menolaknya. Demikian juga ketika Masyumi akan direhabilitasi. Tahun 1968, berdiri Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), namun menjadi mandul karena diisi hanya oleh orang-orang yang pro-pemerintah. Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1978 dengan sangat terpaksa diterima oleh umat, yang sebenarnya itu bagian dari usaha politik untuk melemahkan Islam. Sejalan dengan itu, jatuhlah korban di Tanjung Priok, Lampung, Jakarta dan berbagai tempat lain dengan motif tuduhan “tindakan subversif”.
Tahun 1998, muncul Orde Reformasi, yang diharapkan mampu membawa perbaikan kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Namun, apa yang terjadi? Umat Islam memang mendapatkan ruang yang luas untuk beraktivitas politik, namun seperti diungkapkan oleh Adian Husaini (Hidayatullah.com, 25/04/2004) selama Orde Reformasi, Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan. Kebebasan di berbagai bidang memang dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1.300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar dan merata ke pelosok-pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. Pengangguran masih melangit. Angka kemiskinan masih cukup tinggi.
Kondisi seperti ini, bagi mahasiswa muslim merupakan sebuah ironi. Dan sebagai elemen masyarakat yang memiliki kemampuan dan kepedulian tinggi, mahasiswa terpanggil untuk berperan menyelamatkan bangsa. Kondisi pengebirian politik dan kebobrokan multi dimensi di republik ini adalah beberapa sebab kemunculan KAMMI di kemudian hari. Selain variabel intinya: ideologisasi Islam.
Di Kampus Bersemai Islam
“KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga politik,” demikian diungkapkan oleh Haryo Setyoko—Sekretaris Umum KAMMI pertama—ketika menjawab tudingan bernada curiga, “bagaimana bisa suatu organisasi berumur sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum 60 LDK?”
Hal ini diperjelas dengan analisis Ali Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, 2002), bahwa ada dua faktor penting yang mengkonstruksi pola baru aktivitas keislaman mahasiswa. Pertama, munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan Islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, adanya sebuah public sphere (ruang publik) yang relatif lapang, yang bernama masjid atau mushalla kampus, tempat di mana idealisme kaum muda Islam itu mengalami persemaian ideal dan pengecambahan secara cepat.
Tahun 80 sampai 90-an, para aktivis dakwah telah memulai membangun pilar-pilar dakwah sebagai pemantik kebangkitan Islam di Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas kaum muslimin di dunia. Aktivis dakwah ini telah menempuh langkah strategis; membidik dunia kampus dan pendidikan. Kampus adalah pusat peradaban dan pusat pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan tongkat perjuangan bagi generasi sebelumnya. Terbangunnya kaum intelektual kampus dengan sibghah Islam merupakan sebuah kemenangan yang luar biasa, sebuah kontribusi yang amat sangat berharga bagi perkembangan dakwah selanjutnya.
Lalu, diawali oleh masjid kampus pertama di Indonesia, masjid Salman al-Farisi di Institut Teknologi Bandung (ITB), dimulailah membentuk pengajian-pengajian kecil, dengan materi seputar aqidah dan pemurnian makna Laa ilaaha Illaallah. Dengan membentuk para individu unggulan ini diharapkan akan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga unggulan, yang kehidupannya mencerminkan sebuah keluarga dengan kemurnian aqidah. Dan dari situ diharapkan akan terbentuk sebuah masyarakat yang mempunyai karakteristik perilaku yang Islami.
Perkumpulan pengajian yang ada di kampus-kampus ini kebanyakan termotivasi dengan adanya beberapa pergerakan yang menawarkan ide-ide pemurnian terhadap pemahaman Islam dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan ajaran-Nya serta sunnah Rasul-Nya dalam setiap jengkal kehidupan. Nama-nama dan pemikiran Ikhwanul Muslimin [Mesir], Hizbut Tahrir [Yordania], Salafy, Al-Haramain, dan Jama’at al-Islami [Pakistan] banyak mewarnai pemikiran aktivis dakwah kampus saat itu. Ide-ide penegakan kembali persatuan Islam Internasional, Khilafah Islamiah, merupakan ide-ide yang tidak pernah lepas dari kajian-kajian juga.
Demikian pula penanaman sikap anti imperialisme dan Barat dengan ghazwul fikrinya. Hingga dalam beberapa waktu terbentuklah sosok-sosok mahasiswa yang tampil secara ekslusif dengan pemahaman keislamannya. Para pemuda berjenggot dan para wanita dengan kerudung [jilbab] lebar telah mulai bersemi dalam kampus, yang kelak ternyata akan tumbuh dengan rimbunnya. Para mahasiswa dengan al-Qur’an kecil di saku bajunya ternyata menjadi fenomena yang lama kelamaan kian bertambah.
Dengan terbentuknya masjid-masjid di kampus serta dengan terbukanya ruang untuk membentuk perkumpulan kajian di kampus, maka benih-benih dakwah kampus yang telah dibangun melalui kajian-kajian ini selanjutnya menyatu dalam wadah yang telah terorganisasi. Dalam tingkatan perguruan tinggi maka masjid kampus akhirnya telah menjadi basis perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa Islam di kampus.
Tahun-tahun terakhir menjelang reformasi 1998, gerakan dakwah kampus ini mulai mempunyai bargaining position (posisi tawar) dalam dunia perpolitikan, baik internal kampus dalam bentuk BEM, SM; maupun perpolitikan negara. Saat itulah kemudian, gerakan dakwah kampus mengalami transformasi dalam bentuk ormas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Kutub Kebangkitan Islam
Kelahiran KAMMI lewat Deklarasi Malang tak bisa dipisahkan dari konteks sejarah Indonesia saat itu yang tengah dilanda krisis kepemimpinan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Aktivis LDK yang disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan Islam di kampus terpanggil untuk mengarahkan dan mengamankan proses perubahan Indonesia, dan sepakat membentuk KAMMI sebagai wadah perjuangannya. Hingga kemudian KAMMI tercatat sebagai salah satu motor gerakan reformasi Mei 1998.
Dalam analisa Imam Mardjuki—anggota pendiri KAMMI, Ketua KAMMI Semarang 2000-2002, Ketua LDK Undip 1998-1999—(www.kammi.or.id., 29/10/04) perjuangan KAMMI berangkat dari tiga kutub kebangkitan. Pertama, kutub revivalisasi. Revivalisasi lahir dari semangat ingin mengambil ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada orisinalitas dan integralitas Islam generasi pertama. Revivalisasi adalah upaya membangun kembali Islam secara kaffah sebagaimana diajarkan dan diteladankan Nabi Muhammad SAW.
Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi awal Islam) ini merupakan perlawanan atas sekularisasi yang telah menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya serta memunculkan pemikiran dan praktik keislaman yang parsialistik. Karena itulah, revivalisasi KAMMI ingin membangun Islam secara utuh mencakup seluruh aspek kehidupan.
Kedua, kutub adaptasi. Islam di mata KAMMI bukanlah dogma beku, kolot, antiperubahan atau kontra-modernisme. Islama adalah ideologi dinamis yang menyeimbangkan antara hal-hal yang tetap (ats-tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat), karena Islam pada dasarnya idealita yang hanya bermakna bila direalisasikan di alam nyata. Di mata Sayyid Quthb, kesejatian seorang muslim bukanlah pada apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan apa yang mereka perbuat di dunia ini. Pada kenyataannya, penerapan Islam di alam realita ini membutuhkan adaptasi-adaptasi.
Karena itu, semangat kembali kepada ajaran salaf yang didakwahkan KAMMI sangat welcome terhadap dinamika zaman di era khalaf (mutakhir). KAMMI sependapat dengan ulama kontemporer Syekh Yusuf Qordhowi bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi’i (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman).
Kutub ketiga adalah visi. Visi KAMMI adalah membentuk masyarakat Islami di Indonesia (GBHO KAMMI 2004-2006 Bab II Pasal 2), selain melahirkan pemimpin bangsa masa depan bagi umat dan bangsa ini. Umat Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi hanya mayoritas statistik, bukan mayoritas substantif. Kenyataan ini menjadikan perjuangan KAMMI akan menjadi sangat beralasan untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen umat Islam di Indonesia.
Khatimah
Kelahiran KAMMI merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Latar belakang yang menyebabkan lahirnya KAMMI menuntut untuk terus berdiri kokoh menentang kedzaliman di muka bumi ini. Idealisme kemahasiswaan dan keindonesiaan yang dimiliki KAMMI niscaya menjadi pemantik bagi bara perjuangan berikutnya.
Saat ini, ketika sudah bertambah umur, KAMMI harus lebih matang. Baik dalam pengelolaan kadernya maupun ketika mengambil keputusan politik etis-strategisnya. Jangan sampai KAMMI terjebak dalam euforia politik praktis yang seringkali menjerembabkan dalam jurang pragmatisme.
Mengapa KAMMI Harus Lahir ?
“Semua ideologi yang berorientasi pada strategi revolusi, menganggap pemuda
sebagai tenaga paling revolusioner yang telah dan terjadi di seantero dunia ini”
[Fathi Yakan]
SEMBILAN tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 Maret 1998, dibacakanlah Deklarasi Malang sebagai proklamasi kelahiran sebuah organ gerakan mahasiswa muslim yang baru, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Pembacaan dilakukan oleh Fahri Hamzah, yang kemudian didaulat menjadi ketua pertama dengan didampingi Haryo Setyoko sebagai sekretaris umum. Peristiwa bersejarah itu kemudian diabadikan sebagai hari milad KAMMI.
KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis mahasiswa muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) di seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktivis dakwah kampus.
Mengapa harus muncul KAMMI, sementara pada saat yang bersamaan sudah ada berbagai macam organisasi ekstra kampus yang lain, yang juga merupakan gerakan mahasiswa muslim? Pada konteks seperti apakah KAMMI menemukan momentum kelahirannya? Latar belakang, samping dan depan seperti apakah yang menyebabkan KAMMI muncul sebagai kekuatan baru bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan itu mungkin muncul di benak para pengamat, atau bahkan pertanyaan mudah semisal, “bagaimana mungkin KAMMI mampu mengumpulkan massa sebanyak 20.000 orang saat usianya baru satu bulan?”
Karena itu, merupakan suatu hal yang signifikan untuk menguak latar belakang dan situasi yang mendukung lahirnya KAMMI sebagai salah satu organ gerakan mahasiswa pembawa gerbong reformasi Indonesia.
Mahasiswa Dilarang Berpolitik !
Sangat jelas, bahwa pemerintah memiliki ketakutan luar biasa terhadap mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa adalah sosok yang mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999). Dalam konteks Orde Baru, ideologi politiknya telah benar-benar menjadi hegemonik bagi warganya sendiri. Sehingga dalam kondisi seperti itu, pemerintah yang korup dan bobrok tetap mampu mengendalikan gejolak rakyatnya. Kecuali mahasiswa !
Cara berpolitiknya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral (etik). Disini harus difahamkan bahwa gerakan mahasiswa harus senantiasa berangkat dari kesadaran moral di mana mereka tidak perlu masuk dalam wiayah politik kekuasaan. Tetapi bukan berarti mahasiswa tidak boleh berbicara politik. Gerakan mahasiswa harus mendorong proses politik menuju moralitas politik. Gerakan moral dapat berimplikasi politis, karena tidak ada perubahan tanpa kebijakan politik.
Dalam menjalankan pemerintahannya terutama pertengahan 70-an Soeharto mulai menuai kritik dari mahasiswa dan masyarakat oleh KKN yang dipelopori keluarga Cendana (baca: Soeharto). Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama tragedi Malari (15 Januari 1974) yang salah satu tokohnya adalah Hariman Siregar.
Mahasiswa dengan segenap kemampuan, terus berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah yang membuat kerugian bagi bangsa dan rakyat. Mereka turun ke jalan, masuk ke denyut parlemen, dan melakukan negosiasi dengan para decision maker di republik ini. Ternyata, hal itu membuat pemerintah gerah. Lalu, pada tahun 1978, melalui Mendikbud Daoed Joesoef, dikeluarkan sebuah SK tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).
Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat ilmiah.
Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit semester, mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah. Mulai saat itu gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah semakin otoriter, represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Beberapa aksi mahasiswa dan penentang kebijakan pemerintah selalu dikaitkan, hubungan-hubungan bahwa aksi yang dilakukan ditunggangi oleh pihak tertentu. Hampir seluruh kegiatan mahasiswa dicurigai, diteror, dan ditangkap oleh aparat antek-antek pemerintah di kampus (baca: rektor) yang sedikit banyak berdampak pada massivitas gerakan mahasiswa.
Kampus: Karantina Politik
Ada sebuah analog menarik yang disampaikan oleh Ignas Kleiden. Diawali sebuah pertanyaan, “bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai wunderkinder politik (anak-anak ajaib dalam politik)?”. Dalam tulisannya itu (Tempo, 4 Januari 1999), Kleiden mencoba menjelaskan bahwa fenomena meledaknya gerakan mahasiswa adalah karena sebetulnya, pelarangan kegiatan berpolitik bagi mahasiswa pada masa Orde Baru bukanlah “Pulau Buru” untuk politik, tetapi lebih mirip karantina yang melindungi mahasiswa dari kuman dan virus.
Untuk mereka yang hidup dalam karantina, lanjut Kleiden, politik tradisional ini penuh aksesori, tetapi terlalu sederhana dalam tematisnya: kedudukan, kekuasaan, fasilitas, keberanian korupsi dan kesediaan untuk menyenangkan kesenangan yang lebih tinggi. Yang tidak diduga adalah “anak-anak karantina” itu tidak mengenal tradisi politik demikian. Mereka rupanya telah mengamati dengan telaten apa saja yang menjadi pola strategi anti-demokrasi yang berulang-ulang diterapkan dan pada akhirnya menemukan jalan untuk menghadapinya.
Akar dari kemunculan anak-anak muda ini menurut Eep Saefullah Fatah (Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, 1998) bisa dilacak sekurangnya tiga faktor. Pertama, ekses pendidikan politik Orde Baru yang tertutup yang menimbulkan banyak kekecewaan. Ketidakpuasan terhadap mekanisme pendidikan yang tertutup di awal-awal Orde Baru, membuat mereka banyak menggali dan mencari di luar jatah belajar resmi di kampus. Kedua, kemunculan anak-anak muda yang bersemangat ini adalah satu hasil dari transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Makin besarnya peluang berpendidikan tinggi, makin terbuka peluang mobilitas vertikal secara ekonomis. Hal itu menumbuhkan komunitas kritis dan well informed di tengah masyarakat. Ketiga, ekspresi dari kekecewaan terhadap politik pembangunan (developmentalisme) yang menimbulkan ketimpangan sosial yang parah.
Dalam halnya mahasiswa muslim, ruang karantina itu menjadi semakin steril ketika bertemu dengan variabel masjid. Hal inilah yang disinggung oleh Eep (Hidayatullah, Edisi 01/Th. XI Muharram 1419) ketika menganalisis bahwa pertemuan antara masjid, sebagai ruang “suci” dan penuh nuansa religius spiritual, dengan kampus—simbol intelektualitas dan pencetak tenaga pembangun bangsa—merupakan sinergi yang sangat mendukung berkembangnya bibit KAMMI di kemudian hari.
Kampus merupakan ruang yang relatif aman untuk bergerak di tengah kokohnya negara. Sedangkan masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. “Saat ini masjid merupakan suatu tempat dimana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik,” katanya. Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan dua variabel itu dengan baik. “Mereka muncul dari basis kampus dan bergerak ke masjid”. Karenanya ia memandang KAMMI berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan. "KAMMI memiliki massa yang besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan yang luas di luar kampus,” ramal Eep.
Islam Politik Dikebiri
Umat Islam di Indonesia, sejatinya mengalami pengebirian politik. Menurut Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam, 1997), Islam Politik inilah yang dibenci dan ditekan oleh negara agar tidak berkembang. Mengapa Islam secara politik dihalangi oleh negara? Menurut Kunto, mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat dalam terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional, zaman Belanda dan NKRI (“DI/TII”) menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam politik”.
Sejak kemerdekaan, Indonesia memang telah mengalami berbagai sistem politik. Pemilu pertama dalam sistem parlementer menghasilkan pemerintahan yang sering dikatakan tidak stabil. Ujung-ujungnya, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, sekaligus memberikan kekuasaan besar kepada Presiden Soekano.
Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama, yang kemudian bertahan selama 32 tahun.
Pada awal Orde Baru (1966-1967) ketika akan dibentuk PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia), negara menolaknya. Demikian juga ketika Masyumi akan direhabilitasi. Tahun 1968, berdiri Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), namun menjadi mandul karena diisi hanya oleh orang-orang yang pro-pemerintah. Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1978 dengan sangat terpaksa diterima oleh umat, yang sebenarnya itu bagian dari usaha politik untuk melemahkan Islam. Sejalan dengan itu, jatuhlah korban di Tanjung Priok, Lampung, Jakarta dan berbagai tempat lain dengan motif tuduhan “tindakan subversif”.
Tahun 1998, muncul Orde Reformasi, yang diharapkan mampu membawa perbaikan kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Namun, apa yang terjadi? Umat Islam memang mendapatkan ruang yang luas untuk beraktivitas politik, namun seperti diungkapkan oleh Adian Husaini (Hidayatullah.com, 25/04/2004) selama Orde Reformasi, Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan. Kebebasan di berbagai bidang memang dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1.300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar dan merata ke pelosok-pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. Pengangguran masih melangit. Angka kemiskinan masih cukup tinggi.
Kondisi seperti ini, bagi mahasiswa muslim merupakan sebuah ironi. Dan sebagai elemen masyarakat yang memiliki kemampuan dan kepedulian tinggi, mahasiswa terpanggil untuk berperan menyelamatkan bangsa. Kondisi pengebirian politik dan kebobrokan multi dimensi di republik ini adalah beberapa sebab kemunculan KAMMI di kemudian hari. Selain variabel intinya: ideologisasi Islam.
Di Kampus Bersemai Islam
“KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga politik,” demikian diungkapkan oleh Haryo Setyoko—Sekretaris Umum KAMMI pertama—ketika menjawab tudingan bernada curiga, “bagaimana bisa suatu organisasi berumur sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum 60 LDK?”
Hal ini diperjelas dengan analisis Ali Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, 2002), bahwa ada dua faktor penting yang mengkonstruksi pola baru aktivitas keislaman mahasiswa. Pertama, munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan Islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, adanya sebuah public sphere (ruang publik) yang relatif lapang, yang bernama masjid atau mushalla kampus, tempat di mana idealisme kaum muda Islam itu mengalami persemaian ideal dan pengecambahan secara cepat.
Tahun 80 sampai 90-an, para aktivis dakwah telah memulai membangun pilar-pilar dakwah sebagai pemantik kebangkitan Islam di Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas kaum muslimin di dunia. Aktivis dakwah ini telah menempuh langkah strategis; membidik dunia kampus dan pendidikan. Kampus adalah pusat peradaban dan pusat pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan tongkat perjuangan bagi generasi sebelumnya. Terbangunnya kaum intelektual kampus dengan sibghah Islam merupakan sebuah kemenangan yang luar biasa, sebuah kontribusi yang amat sangat berharga bagi perkembangan dakwah selanjutnya.
Lalu, diawali oleh masjid kampus pertama di Indonesia, masjid Salman al-Farisi di Institut Teknologi Bandung (ITB), dimulailah membentuk pengajian-pengajian kecil, dengan materi seputar aqidah dan pemurnian makna Laa ilaaha Illaallah. Dengan membentuk para individu unggulan ini diharapkan akan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga unggulan, yang kehidupannya mencerminkan sebuah keluarga dengan kemurnian aqidah. Dan dari situ diharapkan akan terbentuk sebuah masyarakat yang mempunyai karakteristik perilaku yang Islami.
Perkumpulan pengajian yang ada di kampus-kampus ini kebanyakan termotivasi dengan adanya beberapa pergerakan yang menawarkan ide-ide pemurnian terhadap pemahaman Islam dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan ajaran-Nya serta sunnah Rasul-Nya dalam setiap jengkal kehidupan. Nama-nama dan pemikiran Ikhwanul Muslimin [Mesir], Hizbut Tahrir [Yordania], Salafy, Al-Haramain, dan Jama’at al-Islami [Pakistan] banyak mewarnai pemikiran aktivis dakwah kampus saat itu. Ide-ide penegakan kembali persatuan Islam Internasional, Khilafah Islamiah, merupakan ide-ide yang tidak pernah lepas dari kajian-kajian juga.
Demikian pula penanaman sikap anti imperialisme dan Barat dengan ghazwul fikrinya. Hingga dalam beberapa waktu terbentuklah sosok-sosok mahasiswa yang tampil secara ekslusif dengan pemahaman keislamannya. Para pemuda berjenggot dan para wanita dengan kerudung [jilbab] lebar telah mulai bersemi dalam kampus, yang kelak ternyata akan tumbuh dengan rimbunnya. Para mahasiswa dengan al-Qur’an kecil di saku bajunya ternyata menjadi fenomena yang lama kelamaan kian bertambah.
Dengan terbentuknya masjid-masjid di kampus serta dengan terbukanya ruang untuk membentuk perkumpulan kajian di kampus, maka benih-benih dakwah kampus yang telah dibangun melalui kajian-kajian ini selanjutnya menyatu dalam wadah yang telah terorganisasi. Dalam tingkatan perguruan tinggi maka masjid kampus akhirnya telah menjadi basis perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa Islam di kampus.
Tahun-tahun terakhir menjelang reformasi 1998, gerakan dakwah kampus ini mulai mempunyai bargaining position (posisi tawar) dalam dunia perpolitikan, baik internal kampus dalam bentuk BEM, SM; maupun perpolitikan negara. Saat itulah kemudian, gerakan dakwah kampus mengalami transformasi dalam bentuk ormas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Kutub Kebangkitan Islam
Kelahiran KAMMI lewat Deklarasi Malang tak bisa dipisahkan dari konteks sejarah Indonesia saat itu yang tengah dilanda krisis kepemimpinan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Aktivis LDK yang disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan Islam di kampus terpanggil untuk mengarahkan dan mengamankan proses perubahan Indonesia, dan sepakat membentuk KAMMI sebagai wadah perjuangannya. Hingga kemudian KAMMI tercatat sebagai salah satu motor gerakan reformasi Mei 1998.
Dalam analisa Imam Mardjuki—anggota pendiri KAMMI, Ketua KAMMI Semarang 2000-2002, Ketua LDK Undip 1998-1999—(www.kammi.or.id., 29/10/04) perjuangan KAMMI berangkat dari tiga kutub kebangkitan. Pertama, kutub revivalisasi. Revivalisasi lahir dari semangat ingin mengambil ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada orisinalitas dan integralitas Islam generasi pertama. Revivalisasi adalah upaya membangun kembali Islam secara kaffah sebagaimana diajarkan dan diteladankan Nabi Muhammad SAW.
Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi awal Islam) ini merupakan perlawanan atas sekularisasi yang telah menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya serta memunculkan pemikiran dan praktik keislaman yang parsialistik. Karena itulah, revivalisasi KAMMI ingin membangun Islam secara utuh mencakup seluruh aspek kehidupan.
Kedua, kutub adaptasi. Islam di mata KAMMI bukanlah dogma beku, kolot, antiperubahan atau kontra-modernisme. Islama adalah ideologi dinamis yang menyeimbangkan antara hal-hal yang tetap (ats-tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat), karena Islam pada dasarnya idealita yang hanya bermakna bila direalisasikan di alam nyata. Di mata Sayyid Quthb, kesejatian seorang muslim bukanlah pada apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan apa yang mereka perbuat di dunia ini. Pada kenyataannya, penerapan Islam di alam realita ini membutuhkan adaptasi-adaptasi.
Karena itu, semangat kembali kepada ajaran salaf yang didakwahkan KAMMI sangat welcome terhadap dinamika zaman di era khalaf (mutakhir). KAMMI sependapat dengan ulama kontemporer Syekh Yusuf Qordhowi bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi’i (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman).
Kutub ketiga adalah visi. Visi KAMMI adalah membentuk masyarakat Islami di Indonesia (GBHO KAMMI 2004-2006 Bab II Pasal 2), selain melahirkan pemimpin bangsa masa depan bagi umat dan bangsa ini. Umat Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi hanya mayoritas statistik, bukan mayoritas substantif. Kenyataan ini menjadikan perjuangan KAMMI akan menjadi sangat beralasan untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen umat Islam di Indonesia.
Khatimah
Kelahiran KAMMI merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Latar belakang yang menyebabkan lahirnya KAMMI menuntut untuk terus berdiri kokoh menentang kedzaliman di muka bumi ini. Idealisme kemahasiswaan dan keindonesiaan yang dimiliki KAMMI niscaya menjadi pemantik bagi bara perjuangan berikutnya.
Saat ini, ketika sudah bertambah umur, KAMMI harus lebih matang. Baik dalam pengelolaan kadernya maupun ketika mengambil keputusan politik etis-strategisnya. Jangan sampai KAMMI terjebak dalam euforia politik praktis yang seringkali menjerembabkan dalam jurang pragmatisme.
Subscribe to:
Posts (Atom)