Sunday, May 20, 2007

Khilafah yang Khilafiyah

Sejarah Islam menorehkan sebuah catatan berharga, Muhammad memang diutus untuk memberi kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Kabar kemenangan yang bersifat ukhrawi, kebahagiaan surga abadi bagi manusia-manusia beriman. Sekaligus, pada saat yang sama memberi petunjuk keteraturan dalam bentuk praktek negara Madinah. Konstruksi negara Madinah lalu diadopsi secara konseptual oleh para ilmuwan modern sebagai negara madani, dengan maksud mengambil spirit keadilan yang telah dipraktekkan oleh generasi pertama Islam ini.

Generasi khilafah rasyidah empat sahabat mulia (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) masih mencatat keberhasilan implementasi ajaran Tuhan. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah berikutnya, fragmen penuh darah sempat diperlihatkan oleh penerusnya. Bahkan cucu tersayang Rasulullah, yaitu Husein bin Ali wafat di Padang Karbala. Nasib buruk kaum muslimin lalu jatuh dalam otoritarianisme Muawiyah dan Abbasiyah. Walaupun tetap merupakan negara Islam, namun banyak catatan bagi dua dinasti besar itu.

Jika kita mengandaikan konstruksi khilafah kembali terbentuk, maka bentuk seperti apa yang dinginkan. Pertanyaannya, di era dunia memasuki globalisasi dengan segala konsekuensi budaya, politik, ekonomi dan sosial seperti ini, bagamana prospek negara khilafah tersebut? Ada baiknya juga wacana ini dikaitkan dengan realitas politik Indonesia yang memberlakukan demokrasi sebagai sistem politiknya.

Globalisasi Tak Terelakkan

Keadaan terkini yang harus kita hadapi adalah globalisasi. Saat dunia seakan tiada sekat batas. Konflik agama dan etnis telah berkembang dari isu lokal menjadi isu internasional atau mengglobal. Budaya McDonald, Coca-cola, Chip, Microsoft, ponsel dan terakhir WIFI (wireless fidality), telah berkembang ke seluruh dunia membentuk peradaban baru. Bahkan beberapa pribadi kemudian dapat dikenal menjadi manusia global.

Globalisasi—yang dalam kacamata ideologi dinamakan globalisme—disebut juga sebagai konsep “transnasionalisme, supranasionalisme atau ekstranasionalisme” yang secara otomatis telah menggantikan konsep “country, power-superpower, atau state-nation” pada abad-17 dan menghancurkan kekhalifahan Utsmaniyyah berkeping-keping ke dalam bangsa-bangsa muslim yang kecil dan lemah. Bahkan dalam konteks internasional, globalisme telah berkembang menjadi berkonotasi hegemoni, yaitu suatu istilah yang diartikan sebagai suatu center of power untuk mengendalikan tatanan dunia tanpa ada yang dapat menahan atau mencegah kehendaknya.

Fenomena globalisasi ini memiliki dwi-wujud. Pertama adalah terjadinya independensi lokal. Setiap negara meneguhkan kekuatannya sendiri, membentuk sebuah ikatan primordial yang kuat. Gejala ini bisa nampak di berbagai belahan dunia. Salah satu turunan kecenderungan ini adalah federalisasi negara, jika di Indonesia maka kita lihat potret otonomi daerah. Kekuatan sebuah negara bertumpu pada lokalitas.

Kedua, antara komunitas lokal yang kuat tersebut, lalu menjalin kerjsasama simbiosis mutualisme. Kedekatan psikologis, budaya, ekonomi dan politik menjadi dasar bagi bersatunya entitas daerah yang berbeda—hatta secara geografis. Misal yang mencolok adalah lahirnya MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) yang mendorong lahirnya mata uang Euro sebagai wujud bersatunya seluruh daratan Eropa dalam kesatuan ekonomi-politik.

Dalam konteks globalisasi seperti ini, maka bagaimana menempatkan wacana khilafah? Sementara masyarakat Islam di penjuru dunia masih berada dalam kondisi tidak menguntungkan. Negara-negara yang berlabel Islam, ternyata masih banyak memiliki rezim otoriter yang sama sekali jauh dari spirit Islam. Alih-alih muncul kekuatan lokal yang kokoh, justru saling menjatuhkan antar sesama negara Islam tersebut, sebut saja Iran dan Irak yang masih tersekat oleh isu perbedaan madzhab Sunni-Syiah. Tantangan ini yang menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat).

Khilafah, bagaimanapun, adalah lahirnya sebuah tatanan yang mensejahterakan rakyatnya. Atau dalam terminologi Ismail Raji’ al-Faruqi disebut sebagai komunitas al-Ummah. Kesejahteraan ini masih jauh panggang dari api. Indeks kemiskinan di negara-negara Islam masih sangat tinggi.

Konstruksi Khilafah

Memiliki cita-cita, setidaknya sudah tergambar dalam benak kita tentang hal itu. Keinginan menjadi dokter tentunya diilhami oleh paramedis yang bisa menolong banyak orang di rumah sakit. Cita-cita menjadi politisi muncul setelah nampak kekuatan birokrat yang bisa mempengaruhi banyak orang. Nah, jika cita-cita yang terbangun adalah membentuk khilafah, bagaimana konstruksi yang akan dibangun?

Sejarah emas umat Islam (the Golden Age) memang pernah muncul. Saat Islam menjadi penguasa dunia, hampir dua pertiga bulatan bumi ini berkumandang syahadat keesaan Allah. Namun, realitas pasca renaissance Barat dan bangkitnya nafsu kolonialisme pada abad 17, telah meluluhlantakkan kejayaan Islam. Di sinilah kita jangan terus-menerus terjebak dalam nostalgia masa lalu. Mengangung-agungkan masa lalu akan membuat kaum muslimin bangga diri tapi melupakan keadaan diri yang nyata.

Pada masa Kesultanan Turki Utsmani pernah lahir berbagai macam negara penyangga (buffer state), sebagaimana Dinasti Aghlabiyah di Sisilia, Kesultanan Ternate-Tidore-Bacan-Jailolo di Maluku. Juga Demak dan Samudra Pasai. Hubungan politis antara negara Islam lintas geografis tersebut memang pernah lahir. Jika kita lihat keadaan sekarang, mungkinkah bentuk khilafah akan ada, di tengah penguatan lokal?

Kedua, jika kita mendudukkan wacana khilafah dalam konteks keindonesiaan, yang harus difikirkan adalah bagaimana agar compatible dengan sistem politik kenegaraan di Nusantara ini. Jelas tidak mungkin mengadakan sebuah revolusi sistem dan birokrasi di Indonesia. Sebuah ketiba-tibaan sama dengan pembunuhan lebih awal bagi wacana kebangkitan Islam.

Tahapan yang dibangun menuju khilafah ini hendaknya memperhatikan aspek kultural. Jika membangun kultur tanpa struktur, maka struktur itu akan lebih cepat hancur. Buktinya adalah Sudan. Saat konstitusi Islami lahir di Sudan, pertikaian dengan Sudan selatan yang Kristen belum tuntas, yang terjadi adalah kudeta militer. Kebangkitan Islam lalu mati muda. Aspek kultural ini meliputi kesejahteraan masyarakat, tingkat pengetahuan yang tinggi dan partisipasi dalam pemerintahan.

Indonesia memakai sistem demokrasi. Pelibatan seluruh komponen menjadi niscaya, karena dijamin hak-haknya secara penuh oleh perundang-undangan. Menurut hemat saya, membangun khilafah tanpa menyejahterakan adalah kesia-siaan. Karena itu, mungkin harus difikirkan kembali: wacana khilafah ini terlalu prematur tidak? Bukankah lebih baik kaum muslimin memaksimalkan potensi negara Indonesia—dengan segala perangkat sistem, ideologi dan birokrasinya—untuk memakmurkan rakyat. Penumbuhan kesadaran politik (al-wa’yu al-siyasi) berjalan di antaranya.
Menimbang Religiusitas Sinetron Kita

Seorang wanita tuna susila berada dalam kamar bersama lelaki hidung belang. Sebelumnya sempat mengiba tangis dan berkata bahwa dia melakukan hal ini karena kondisi keuangan keluarga yang amburadul, suami tidak bekerja dan anak-anak butuh makan. Setelah selesai, dia menerima segepok uang sembari tersenyum. Adegan berikutnya adalah sang suami yang di rumah, bekerja keras, utang sana-sini, hidup dalam rumah reot. Akhir tayangan adalah matinya si sitri durhaka dan mendapat azab di kuburnya. Judul sinetron kali ini adalah “Jenazah Digencet Kuburan.”

Sinetron di atas, dimasukkan dalam genre “sinetron religius”. Asumsinya adalah mendakwahkan nilai-nilai keagamaan kepada pemirsa dan mendidik moral penonton agar semakin baik. Takut berbuat maksiat dan selalu mengingat Tuhan dalam seluruh detik hidupnya. Namun sudah tercapaikah keinginan itu? Atau, sebetulnya secara pelan tapi pasti telah terjadi pembodohan sistematik terhadap masyarakat awam?

Menjawab pertanyaan ini, setidaknya terdapat beberapa analisis. Pertama, media televisi digolongkan oleh pemikir komunikasi Marshal McLuhan sebagai media dingin (cold medium). Klasifikasi media massa ke dalam dua dikotomi, media panas dan media dingin. Distingsi tersebut merefleksikan dua kutub relasi kontrol dengan pemirsanya. Media dingin lebih cenderung liar dan otoritarian lewat tampilan visualnya, sementara media panas lebih dialogis dan sensitif terhadap kritik dan kontrol pembacanya. Jenis kedua diwakili oleh media cetak.

Selain itu, televisi merupakan teknologi media massa yang punya daya provokasi paling tinggi. Setidaknya hal ini sudah diungkapkan oleh McLuhan, bahwa media televisi memang syarat dengan multi-interpretasi. Ketika program televisi menayangkan acara-acara yang “mengancam pembodohan” masyarakat, banyak yang protes dan pro kontra. Tetapi, saat dikembalikan kepada pihak televisi, argumentasi yang sering dikeluarkan adalah bahwa acara-acara televisi saat ini merupakan cerminan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian mudah bagi televisi untuk mencekoki masyarakat berbagai macam pola pikir, termasuk yang jauh dari realitas, kita seolah diajak kembali kepada pola pikir tradisional (back to tradisional), sehingga lupa bahwa saat ini berada pada era globalisasi. Barangkali selera masyarakat tersebut menunjukkan adanya krisis dimensional yang melanda bangsa kita. Seolah-olah kita sebagai bangsa yang sedang mencari-cari jati diri sehingga rela saja ketika pikiran-pikiran dirasuki hal-hal yang menyesatkan. Lucunya lagi, meskipun pemirsa takut, tidak ada itikad untuk menghindarinya, malah mengharapkan agar episode mendatang lebih seru lagi.

Di sinilah, peran televisi sebagai media satu arah yang mampu memprovokasi dan menciptakan imaji seliar apapun dalam benak pemirsa semestinya mampu disadari oleh pihak pengelola. Orientasi pada “pemaparan kebenaran” harusnya menjadi dominan dalam program-program yang ditayangkan. Rasionalitas menjadi alas yang utama, selain dalil keagamaan. Jika tayangan bersifat klenik dan mistik berlebihan, alih-alih mereligiuskan masyarakat, justru menjadikan umat semakin buta akidah.

Kedua, gejala hiper-realitas dalam masyarakat. Sebuah kondisi dimana citra yang ditampilkan dalam sinetron dianggap, diyakini, dan dirasakan—baik dengan sadar atau tidak sadar—sebagai sesuatu yang nyata, atau bahkan lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Teori hiper-realitas ini mencukupi untuk digunakan sebagai pendekatan terhadap fenomena “sinetron religius” dan dampaknya bagi masyarakat.

Hiperealitas (hyper-reality) adalah istilah yang sering dimunculkan oleh para teoretisi postmodern, semisal Jean Baudrillard, Roland Barthes, atau Marshal McLuhan, dalam menyoal tingkah polah manusia modern yang bergelimang dalam lautan informasi dan citra yang disebarkan oleh media massa. Teori ini adalah perkembangan lebih lanjut dari marxisme. Jika dalam marxisme diasumsikan bahwa manusia mengkonsumsi nilai guna barang, maka dalam hiperealisme ini tinjauannya bergeser: yang dikonsumsi adalah citra yang ditampilkan barang.

Dalam konteks “sinetron religius”, tayangan kontradiktif antara miskin dan kaya akan menancap dan mencipta—bukan hanya kesan atau citra—tapi juga karakter. Seringkali dalam tayangan itu, seorang yang beriman, rajin ke masjid, dan shaleh dikesankan sebagai orang yang miskin, tertindas, teraniaya dan menjadi semakin beriman dengan kepapaannya itu. Di sisi lain, orang kaya, sukses, memiliki mobil dan rumah mewah, dikesankan sebagai pendurhaka Tuhan dan pelawan syariat. Biasanya memiliki akhir hidup mengenaskan. Jika tidak mendapat kutukan Tuhan, di kuburnya mengalami sebuah siksaan dahsyat.

Efeknya adalah sebuah kesan identifikasi keberimanan seseorang dengan kemiskinannya. Sementara yang durhaka cenderung mudah menjadi kaya. Lalu, pemahamannya diperluas: kekayaan bagi seorang muslim itu adalah (hanya) iman kepada Tuhan tanpa perlu memiliki nominal rupiah yang banyak. Citra ini yang menancap, lalu menjadi sebuah karakter yang utuh. Produktivitas adalah sesuatu yang sia-sia dan tidak terlalu berguna. Kecenderungan jabbariyyah (fatalisme) inilah yang seringkali diangkat oleh “sinetron religius” kita.

Ketiga, tentang prosentase tayangan. Pada beberapa episode sinetron religius, melukiskan adegan ketunasusilaan, foya-foya di kasino dan tindakan negatif lainnya di awal babak. Berikutnya baru tampilan lelaki bersarung, perempuan bermukena yang melakukan sholat dan berdoa. Selebihnya, dimuati dengan bumbu kekerasan, pemukulan, perjudian dan pornografi. Secara acak, pernah penulis menghitung durasi tayangan antara negatif dan positif. Ternyata jumlah durasi waktu yang memuat adegan negatif mencapai 75 persen, sementara sisanya barulah tampilan dan contoh-contoh kesalehan pelaku.

Memang pada awalnya, alur cerita ditujukan pada tindakan “pertobatan” dan “kesadaran kembali terhadap keberimanan”, namun efektivitas bangunan audio visual ternyata masih belum terbangun. Alih-alih mengarahkan pemirsa menjadi alim, justru memberi contoh sekaligus provokasi tindakan dan perbuatan negatif tersebut.

Prosentase yang mencapai 75 persen dari durasi tayang jelas sangat banyak. Otak pemirsa akan sangat cepat merekam jika terus menerus dibombardir dengan sebuah citraan dari televisi. Terlebih lagi berwujud gambar hidup tiga dimensi. Selanjutnya, saat citra melekat akan lahir dalam perbuatan. Dan akhirnya kebiasaan menjadi karakter. Di sinilah kita bisa menyatakan bahwa “sinetron religius” di satu sisi mengajari kebaikan, tapi di sisi lain, dalam alam bawah sadar mengajari tindakan negatif-asusila.

Sebagai penutup, televisi tetap merupakan media yang efektif untuk mensosialisasikan sesuatu kepada masyarakat. Keberadaannya menjadi mutlak bagi sebuah masyarakat informasi. Yang harus diingat bahwa media bukan semata-mata alat untuk mencari keuntungan finansial, tetapi juga mengemban misi moral untuk mencerdaskan masyarakat. Jika televisi mampu memberikan tayangan mencerdaskan, rasional, sekaligus religius dalam pengertian yang sebenarnya, tentunya akan ikut memberikan pendidikan yang mencerdaskan
Amin Sudarsono
Mengapa KAMMI Harus Lahir ?

“Semua ideologi yang berorientasi pada strategi revolusi, menganggap pemuda
sebagai tenaga paling revolusioner yang telah dan terjadi di seantero dunia ini”
[Fathi Yakan]


SEMBILAN tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 Maret 1998, dibacakanlah Deklarasi Malang sebagai proklamasi kelahiran sebuah organ gerakan mahasiswa muslim yang baru, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Pembacaan dilakukan oleh Fahri Hamzah, yang kemudian didaulat menjadi ketua pertama dengan didampingi Haryo Setyoko sebagai sekretaris umum. Peristiwa bersejarah itu kemudian diabadikan sebagai hari milad KAMMI.

KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis mahasiswa muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) di seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktivis dakwah kampus.

Mengapa harus muncul KAMMI, sementara pada saat yang bersamaan sudah ada berbagai macam organisasi ekstra kampus yang lain, yang juga merupakan gerakan mahasiswa muslim? Pada konteks seperti apakah KAMMI menemukan momentum kelahirannya? Latar belakang, samping dan depan seperti apakah yang menyebabkan KAMMI muncul sebagai kekuatan baru bagi bangsa Indonesia? Pertanyaan itu mungkin muncul di benak para pengamat, atau bahkan pertanyaan mudah semisal, “bagaimana mungkin KAMMI mampu mengumpulkan massa sebanyak 20.000 orang saat usianya baru satu bulan?”

Karena itu, merupakan suatu hal yang signifikan untuk menguak latar belakang dan situasi yang mendukung lahirnya KAMMI sebagai salah satu organ gerakan mahasiswa pembawa gerbong reformasi Indonesia.

Mahasiswa Dilarang Berpolitik !

Sangat jelas, bahwa pemerintah memiliki ketakutan luar biasa terhadap mahasiswa. Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa adalah sosok yang mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.

Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999). Dalam konteks Orde Baru, ideologi politiknya telah benar-benar menjadi hegemonik bagi warganya sendiri. Sehingga dalam kondisi seperti itu, pemerintah yang korup dan bobrok tetap mampu mengendalikan gejolak rakyatnya. Kecuali mahasiswa !

Cara berpolitiknya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral (etik). Disini harus difahamkan bahwa gerakan mahasiswa harus senantiasa berangkat dari kesadaran moral di mana mereka tidak perlu masuk dalam wiayah politik kekuasaan. Tetapi bukan berarti mahasiswa tidak boleh berbicara politik. Gerakan mahasiswa harus mendorong proses politik menuju moralitas politik. Gerakan moral dapat berimplikasi politis, karena tidak ada perubahan tanpa kebijakan politik.

Dalam menjalankan pemerintahannya terutama pertengahan 70-an Soeharto mulai menuai kritik dari mahasiswa dan masyarakat oleh KKN yang dipelopori keluarga Cendana (baca: Soeharto). Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama tragedi Malari (15 Januari 1974) yang salah satu tokohnya adalah Hariman Siregar.

Mahasiswa dengan segenap kemampuan, terus berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah yang membuat kerugian bagi bangsa dan rakyat. Mereka turun ke jalan, masuk ke denyut parlemen, dan melakukan negosiasi dengan para decision maker di republik ini. Ternyata, hal itu membuat pemerintah gerah. Lalu, pada tahun 1978, melalui Mendikbud Daoed Joesoef, dikeluarkan sebuah SK tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).

Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat ilmiah.

Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit semester, mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah. Mulai saat itu gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah semakin otoriter, represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.

Beberapa aksi mahasiswa dan penentang kebijakan pemerintah selalu dikaitkan, hubungan-hubungan bahwa aksi yang dilakukan ditunggangi oleh pihak tertentu. Hampir seluruh kegiatan mahasiswa dicurigai, diteror, dan ditangkap oleh aparat antek-antek pemerintah di kampus (baca: rektor) yang sedikit banyak berdampak pada massivitas gerakan mahasiswa.

Kampus: Karantina Politik

Ada sebuah analog menarik yang disampaikan oleh Ignas Kleiden. Diawali sebuah pertanyaan, “bagaimana menjelaskan bahwa mereka yang dilarang berpolitik selama lebih dari dua dasawarsa, sekonyong-konyong menggemparkan dunia sebagai wunderkinder politik (anak-anak ajaib dalam politik)?”. Dalam tulisannya itu (Tempo, 4 Januari 1999), Kleiden mencoba menjelaskan bahwa fenomena meledaknya gerakan mahasiswa adalah karena sebetulnya, pelarangan kegiatan berpolitik bagi mahasiswa pada masa Orde Baru bukanlah “Pulau Buru” untuk politik, tetapi lebih mirip karantina yang melindungi mahasiswa dari kuman dan virus.

Untuk mereka yang hidup dalam karantina, lanjut Kleiden, politik tradisional ini penuh aksesori, tetapi terlalu sederhana dalam tematisnya: kedudukan, kekuasaan, fasilitas, keberanian korupsi dan kesediaan untuk menyenangkan kesenangan yang lebih tinggi. Yang tidak diduga adalah “anak-anak karantina” itu tidak mengenal tradisi politik demikian. Mereka rupanya telah mengamati dengan telaten apa saja yang menjadi pola strategi anti-demokrasi yang berulang-ulang diterapkan dan pada akhirnya menemukan jalan untuk menghadapinya.

Akar dari kemunculan anak-anak muda ini menurut Eep Saefullah Fatah (Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, 1998) bisa dilacak sekurangnya tiga faktor. Pertama, ekses pendidikan politik Orde Baru yang tertutup yang menimbulkan banyak kekecewaan. Ketidakpuasan terhadap mekanisme pendidikan yang tertutup di awal-awal Orde Baru, membuat mereka banyak menggali dan mencari di luar jatah belajar resmi di kampus. Kedua, kemunculan anak-anak muda yang bersemangat ini adalah satu hasil dari transformasi ekonomi dan sosial masyarakat. Makin besarnya peluang berpendidikan tinggi, makin terbuka peluang mobilitas vertikal secara ekonomis. Hal itu menumbuhkan komunitas kritis dan well informed di tengah masyarakat. Ketiga, ekspresi dari kekecewaan terhadap politik pembangunan (developmentalisme) yang menimbulkan ketimpangan sosial yang parah.

Dalam halnya mahasiswa muslim, ruang karantina itu menjadi semakin steril ketika bertemu dengan variabel masjid. Hal inilah yang disinggung oleh Eep (Hidayatullah, Edisi 01/Th. XI Muharram 1419) ketika menganalisis bahwa pertemuan antara masjid, sebagai ruang “suci” dan penuh nuansa religius spiritual, dengan kampus—simbol intelektualitas dan pencetak tenaga pembangun bangsa—merupakan sinergi yang sangat mendukung berkembangnya bibit KAMMI di kemudian hari.

Kampus merupakan ruang yang relatif aman untuk bergerak di tengah kokohnya negara. Sedangkan masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. “Saat ini masjid merupakan suatu tempat dimana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik,” katanya. Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan dua variabel itu dengan baik. “Mereka muncul dari basis kampus dan bergerak ke masjid”. Karenanya ia memandang KAMMI berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan. "KAMMI memiliki massa yang besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan yang luas di luar kampus,” ramal Eep.

Islam Politik Dikebiri

Umat Islam di Indonesia, sejatinya mengalami pengebirian politik. Menurut Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam, 1997), Islam Politik inilah yang dibenci dan ditekan oleh negara agar tidak berkembang. Mengapa Islam secara politik dihalangi oleh negara? Menurut Kunto, mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat dalam terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional, zaman Belanda dan NKRI (“DI/TII”) menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam politik”.

Sejak kemerdekaan, Indonesia memang telah mengalami berbagai sistem politik. Pemilu pertama dalam sistem parlementer menghasilkan pemerintahan yang sering dikatakan tidak stabil. Ujung-ujungnya, Soekarno mengeluarkan dekrit pada 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, sekaligus memberikan kekuasaan besar kepada Presiden Soekano.

Orde Baru muncul menggantikan Orde Lama, yang kemudian bertahan selama 32 tahun.
Pada awal Orde Baru (1966-1967) ketika akan dibentuk PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia), negara menolaknya. Demikian juga ketika Masyumi akan direhabilitasi. Tahun 1968, berdiri Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), namun menjadi mandul karena diisi hanya oleh orang-orang yang pro-pemerintah. Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1978 dengan sangat terpaksa diterima oleh umat, yang sebenarnya itu bagian dari usaha politik untuk melemahkan Islam. Sejalan dengan itu, jatuhlah korban di Tanjung Priok, Lampung, Jakarta dan berbagai tempat lain dengan motif tuduhan “tindakan subversif”.

Tahun 1998, muncul Orde Reformasi, yang diharapkan mampu membawa perbaikan kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Namun, apa yang terjadi? Umat Islam memang mendapatkan ruang yang luas untuk beraktivitas politik, namun seperti diungkapkan oleh Adian Husaini (Hidayatullah.com, 25/04/2004) selama Orde Reformasi, Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan. Kebebasan di berbagai bidang memang dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1.300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar dan merata ke pelosok-pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. Pengangguran masih melangit. Angka kemiskinan masih cukup tinggi.

Kondisi seperti ini, bagi mahasiswa muslim merupakan sebuah ironi. Dan sebagai elemen masyarakat yang memiliki kemampuan dan kepedulian tinggi, mahasiswa terpanggil untuk berperan menyelamatkan bangsa. Kondisi pengebirian politik dan kebobrokan multi dimensi di republik ini adalah beberapa sebab kemunculan KAMMI di kemudian hari. Selain variabel intinya: ideologisasi Islam.

Di Kampus Bersemai Islam

“KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga politik,” demikian diungkapkan oleh Haryo Setyoko—Sekretaris Umum KAMMI pertama—ketika menjawab tudingan bernada curiga, “bagaimana bisa suatu organisasi berumur sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum 60 LDK?”

Hal ini diperjelas dengan analisis Ali Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, 2002), bahwa ada dua faktor penting yang mengkonstruksi pola baru aktivitas keislaman mahasiswa. Pertama, munculnya kelompok anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan Islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, adanya sebuah public sphere (ruang publik) yang relatif lapang, yang bernama masjid atau mushalla kampus, tempat di mana idealisme kaum muda Islam itu mengalami persemaian ideal dan pengecambahan secara cepat.

Tahun 80 sampai 90-an, para aktivis dakwah telah memulai membangun pilar-pilar dakwah sebagai pemantik kebangkitan Islam di Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas kaum muslimin di dunia. Aktivis dakwah ini telah menempuh langkah strategis; membidik dunia kampus dan pendidikan. Kampus adalah pusat peradaban dan pusat pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan tongkat perjuangan bagi generasi sebelumnya. Terbangunnya kaum intelektual kampus dengan sibghah Islam merupakan sebuah kemenangan yang luar biasa, sebuah kontribusi yang amat sangat berharga bagi perkembangan dakwah selanjutnya.

Lalu, diawali oleh masjid kampus pertama di Indonesia, masjid Salman al-Farisi di Institut Teknologi Bandung (ITB), dimulailah membentuk pengajian-pengajian kecil, dengan materi seputar aqidah dan pemurnian makna Laa ilaaha Illaallah. Dengan membentuk para individu unggulan ini diharapkan akan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga unggulan, yang kehidupannya mencerminkan sebuah keluarga dengan kemurnian aqidah. Dan dari situ diharapkan akan terbentuk sebuah masyarakat yang mempunyai karakteristik perilaku yang Islami.

Perkumpulan pengajian yang ada di kampus-kampus ini kebanyakan termotivasi dengan adanya beberapa pergerakan yang menawarkan ide-ide pemurnian terhadap pemahaman Islam dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan melaksanakan ajaran-Nya serta sunnah Rasul-Nya dalam setiap jengkal kehidupan. Nama-nama dan pemikiran Ikhwanul Muslimin [Mesir], Hizbut Tahrir [Yordania], Salafy, Al-Haramain, dan Jama’at al-Islami [Pakistan] banyak mewarnai pemikiran aktivis dakwah kampus saat itu. Ide-ide penegakan kembali persatuan Islam Internasional, Khilafah Islamiah, merupakan ide-ide yang tidak pernah lepas dari kajian-kajian juga.

Demikian pula penanaman sikap anti imperialisme dan Barat dengan ghazwul fikrinya. Hingga dalam beberapa waktu terbentuklah sosok-sosok mahasiswa yang tampil secara ekslusif dengan pemahaman keislamannya. Para pemuda berjenggot dan para wanita dengan kerudung [jilbab] lebar telah mulai bersemi dalam kampus, yang kelak ternyata akan tumbuh dengan rimbunnya. Para mahasiswa dengan al-Qur’an kecil di saku bajunya ternyata menjadi fenomena yang lama kelamaan kian bertambah.

Dengan terbentuknya masjid-masjid di kampus serta dengan terbukanya ruang untuk membentuk perkumpulan kajian di kampus, maka benih-benih dakwah kampus yang telah dibangun melalui kajian-kajian ini selanjutnya menyatu dalam wadah yang telah terorganisasi. Dalam tingkatan perguruan tinggi maka masjid kampus akhirnya telah menjadi basis perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa Islam di kampus.

Tahun-tahun terakhir menjelang reformasi 1998, gerakan dakwah kampus ini mulai mempunyai bargaining position (posisi tawar) dalam dunia perpolitikan, baik internal kampus dalam bentuk BEM, SM; maupun perpolitikan negara. Saat itulah kemudian, gerakan dakwah kampus mengalami transformasi dalam bentuk ormas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Kutub Kebangkitan Islam

Kelahiran KAMMI lewat Deklarasi Malang tak bisa dipisahkan dari konteks sejarah Indonesia saat itu yang tengah dilanda krisis kepemimpinan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Aktivis LDK yang disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan Islam di kampus terpanggil untuk mengarahkan dan mengamankan proses perubahan Indonesia, dan sepakat membentuk KAMMI sebagai wadah perjuangannya. Hingga kemudian KAMMI tercatat sebagai salah satu motor gerakan reformasi Mei 1998.

Dalam analisa Imam Mardjuki—anggota pendiri KAMMI, Ketua KAMMI Semarang 2000-2002, Ketua LDK Undip 1998-1999—(www.kammi.or.id., 29/10/04) perjuangan KAMMI berangkat dari tiga kutub kebangkitan. Pertama, kutub revivalisasi. Revivalisasi lahir dari semangat ingin mengambil ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada orisinalitas dan integralitas Islam generasi pertama. Revivalisasi adalah upaya membangun kembali Islam secara kaffah sebagaimana diajarkan dan diteladankan Nabi Muhammad SAW.

Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi awal Islam) ini merupakan perlawanan atas sekularisasi yang telah menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya serta memunculkan pemikiran dan praktik keislaman yang parsialistik. Karena itulah, revivalisasi KAMMI ingin membangun Islam secara utuh mencakup seluruh aspek kehidupan.

Kedua, kutub adaptasi. Islam di mata KAMMI bukanlah dogma beku, kolot, antiperubahan atau kontra-modernisme. Islama adalah ideologi dinamis yang menyeimbangkan antara hal-hal yang tetap (ats-tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat), karena Islam pada dasarnya idealita yang hanya bermakna bila direalisasikan di alam nyata. Di mata Sayyid Quthb, kesejatian seorang muslim bukanlah pada apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan apa yang mereka perbuat di dunia ini. Pada kenyataannya, penerapan Islam di alam realita ini membutuhkan adaptasi-adaptasi.

Karena itu, semangat kembali kepada ajaran salaf yang didakwahkan KAMMI sangat welcome terhadap dinamika zaman di era khalaf (mutakhir). KAMMI sependapat dengan ulama kontemporer Syekh Yusuf Qordhowi bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi’i (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman).

Kutub ketiga adalah visi. Visi KAMMI adalah membentuk masyarakat Islami di Indonesia (GBHO KAMMI 2004-2006 Bab II Pasal 2), selain melahirkan pemimpin bangsa masa depan bagi umat dan bangsa ini. Umat Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi hanya mayoritas statistik, bukan mayoritas substantif. Kenyataan ini menjadikan perjuangan KAMMI akan menjadi sangat beralasan untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen umat Islam di Indonesia.

Khatimah

Kelahiran KAMMI merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Latar belakang yang menyebabkan lahirnya KAMMI menuntut untuk terus berdiri kokoh menentang kedzaliman di muka bumi ini. Idealisme kemahasiswaan dan keindonesiaan yang dimiliki KAMMI niscaya menjadi pemantik bagi bara perjuangan berikutnya.

Saat ini, ketika sudah bertambah umur, KAMMI harus lebih matang. Baik dalam pengelolaan kadernya maupun ketika mengambil keputusan politik etis-strategisnya. Jangan sampai KAMMI terjebak dalam euforia politik praktis yang seringkali menjerembabkan dalam jurang pragmatisme.

Saturday, February 17, 2007

Thursday, February 15, 2007

Sunday, January 28, 2007

subhanallah


*Air Tawar Segar di Kedalaman Samudera

"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." (Q.S Al Furqan:53)

Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton acara televisi `Discovery' pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli kelautan (oceanografer) dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke berbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat film dokumenter tentang keindahan alam bawah laut untuk ditonton jutaan pemirsa di seluruh dunia.Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemukan beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya karena tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang asin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya. Fenomena ganjil itu membuat penasaran Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari tahu penyebab terpisahnya air tawar dari air asin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berpikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan (surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan..." artinya "Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak bisa ditembus." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas. Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diartikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" artinya "Keluar dari keduanya mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara.Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahwa Al Qur'an memang sungguh-sungguh kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika ia pun memeluk Islam. Allahu Akbar...!Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."

Saturday, January 20, 2007

Cara Mudah Merawat Kacamata

Cara Mudah Merawat Kacamata


Menjaga keawetan kacamata sebenarnya cukup mudah. Meski begitu, tetap saja banyak pengguna kacamata yang mengeluh tentang kondisi kacamatanya. Lensa tergores atau warna lensa yang memudar kerap menjadi masalah yang mengemuka. Mau tahu langkah mudah merawat kacamata? Ikuti tips berikut:- Ketika akan memakai atau melepaskan kacamata, peganglah kedua belah gagangnya. Dengan begitu, setelan kacamata tidak berubah. Bila sedang tidak digunakan, letakkan kacamata dalam posisi terbuka- Jangan lupa untuk membersihkan kacamata setelah Anda beraktivitas. Apalagi jika selepas berolahraga atau aktivitas lain yang mengeluarkan keringat. Untuk mencucinya, gunakan air sabun dan bilas dengan air bersih. Keringkan kacamata dengan tisu yang halus.- Untuk menghindari lecet atau goresan pada lapisan anti refleksi dan permukaan lensa, hindari membersihkan lensa dalam keadaan kering. Sebagai gantinya, cucilah lensa dengan sabun cuci tangan yang lembut lalu keringkan dengan tisu yang halus.- Simpanlah kacamata pada tempatnya. Masukkan kacamata pada kotak kacamata. Usahakan agar tidak menaruh kacamata di dalam saku ataupun tas tanpa perlindungan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. - Yang lebih penting dari merawat kacamata adalah merawat mata Anda sendiri. Istirahatkan sejenak mata Anda di tengah kesibukan bekerja atau menonton televisi. Pandanglah ke kejauhan untuk membuat mata beristirahat. Aturlah pencahayaan di ruangan Anda ketika akan menonton atau mengoperasikan komputer

Why Wooden Porch Railings Could Improve Your Home

Why Wooden Porch Railings Could Improve Your Home

Why Wooden Porch Railings Could Improve Your Home

Why WoodMerawat
Rambut di Musim Panas
Musim panas masih berlangsung. Terik mentari dan udara panas akan terus mendera. Inilah saat paling sering terjadinya kerusakan rambut. Rambut akan lebih sering berkeringat, belum lagi jika cahaya matahari langsung jatuh di kepala. Padahal, ketika menjalankan aktivitas harian sinar matahari terus menemani.Apa yang harus kita lakukan agar rambut tetap sehat? Anda dapat mengikuti tips berikut untuk menghindarkan rambut dari kerusakan sekaligus menghemat uang Anda. Hindari pemakaian produk lightening seperti Sun In. Kebanyakan, produk tersebut mengandung bahan peroksida atau garam metalik (metalic salt) yang merusak rambut.Bahan ini tergolong racun yang berbahaya. Anda disarankan untuk tidak berurusan dengannya. Intinya, biarkan rambut Anda tergerai alami. Kalau mau, Anda bisa melakukan highlight pada rambut. Dalam jangka panjang, Anda akan merasakan sikap disiplin ini akan menjadi cara perawatan yang jauh lebih murah.Berkeramas dengan sampo memang dapat menghilangkan garam metalik. Tetapi, bahan yang terkandung dalam sampo tersebut tidak begitu kuat untuk menyingkirkan garam tersebut secara keseluruhan. Sisa-sisa garam bisa dipastikan akan tertinggal di kulit kepala. Untuk menghilangkan sisa-sisa garam metalik itu gunakanlah conditioner rambut yang mengandung tabir surya. Terlebih jika Anda senang berenang. Kalau Anda tidak bisa menemukan conditioner dengan tabir surya, oleskan tabir surya biasa di rambut sebelum berenang. Jika gemar berenang, Anda perlu membersihkan rambut Anda dengan clarifier. Ini adalah produk yang daya pembersihnya jauh lebih kuat dari sampo. Clarifier dapat menghilangkan racun yang melengket di rambut Anda akibat campuran kaporit dan zat-zat pembersih air kolam lainnya.Karena daya kerjanya begitu kuat, clarifier tidak cocok digunakan tiap hari. Penggunaan yang disarankan sebaiknya hanya sekali atau dua kali seminggu. Jika kegiatan berenang hanya sesekali, Anda bisa mencuci rambut dengan sampo saja begitu selesai berenang. Yang penting, sampo yang Anda pakai untuk mencuci rambut setelah berenang harus dapat menyingkirkan klorin. en Porch Railings Could Improve Your Home
Bahagia dengan 5 AT

Hidup adalah perjuangan. Dan yang namanya perjuangan sangat dekat dengan pengorbanan. Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Para pahlawan, pejuang sejati adalah mereka yang paling banyak berkorban. Sedangkan pengorbanan identik dengan kesulitan, kesusahan, serta ketidaknyamanan. Dengan demikian, siapa pun yang hidup pasti akan berhadapan dengan aneka kesulitan dan kesusahan. Dengan kata lain, manusia yang hidup akan dihadapkan pada beragam ujian.
Saudaraku, sesungguhnya manusia itu teramat lemah. Ia tak kuasa bergerak, kecuali atas izin dan kehendak Allah. Kita pun tidak akan sanggup menghadapi beratnya ujian hidup tanpa bergantung kepada Dzat yang menguasai setiap kesulitan. Semakin kita bergantung kepada-Nya, insya Allah hidup kita akan semakin mudah.
Allah SWT berjanji, "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya." (QS Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Menurut ayat ini, agar urusan kita dipermudah, agar hidup kita lapang, ternyata syaratnya hanya satu, yaitu takwa. Hanya dengan takwalah pintu-pintu pertolongan Allah akan terbuka lebar. Sumber-sumber kebahagiaan akan mudah kita raih. Mudah memang mengucapkan kata takwa, namun aplikasinya tidak semudah yang dibayangkan.
Sesungguhnya, takwa itu luas cakupannya. Bersungguh-sungguh untuk taat kepada-Nya termasuk salah satu makna takwa. Ada satu rumus agar kita bisa dekat dengan Allah, sekaligus meraih cinta-Nya. Kita sebuat "Rumus 5 AT".
Pertama, tekad yang sangat kuAT untuk meraih ridha Allah. Tekad jangan sekadar "kuat", tapi harus "sangat kuat". Jadikanlah Allah sebagai tujuan tertinggi hidup kita. Semua yang kita lakukan, bekerja, belajar, berumah tangga, dsb pastikan hanya untuk Allah semata. Apa pun risikonya.
Kedua, perbanyak tobAT. Sungguh, Allah teramat "gembira" melihat hamba-hamba yang betobat. Menurut Rasulullah SAW kegembiraan Allah melebihi kegembiraan seorang musafir yang menemukan kembali unta serta seluruh perbekalannya yang sempat hilang. Maka perbanyaklah tobat, basahi lisan kita dengan istighfar, tangisi dosa-dosa yang pernah kita lakukan, serta tanamkan dalam hati kebencian untuk melakukan dosa serupa.
Ketiga, jauhi maksiAT. Maksiat adalah hijab tebal yang akan menghalangi pertolongan Allah. Maksiat hanya akan terjadi bila ada niat dan kesempatan. Maka kendalikan hati sejak dari lintasan-lintasan buruk. Tutup sekecil apa pun peluang berbuat maksiat. Kendalikan mata, telinga dan lisan dari yang diharamkan. Jaga pergaulan dan pikiran dengan selektif memilih kawan dan bahan bacaan. Insya Allah, semakin kita bersungguh-sungguh menjaga diri dari maksiat, Allah akan mengaruniakan manisnya iman dan nikmatnya ibadah.
Keempat, perkuat taAT. Setelah membersihan diri dengan tobat, menjaganya dari maksiat, maka perindahlah ia dengan taat. Pastikan program ACM (Aku Cinta masjid), ACQ (Aku Cinta Quran), ACT (Aku Cinta Tahajud) dan ACS (Aku Cinta Sedekah/Shaum) menjadi program harian kita. Lakukan kebaikan di mana pun dan kapan pun. Berjuanglah mati-matian untuk menjadi ahli ibadah yang tangguh lagi ikhlas.
Kelima, tebatkan manfaAT. Menurut Nabi SAW sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Tidak inginkah kita menjadi hamba terbaik dalam pandangan Allah? Jika ingin, tebarkanlah sebanyak mungkin kebaikan. Kebaikan adalah tabungan. Semakin banyak kita melakukan kebaikan, hakikatnya semakin banyak pula tabungan kita di sisi Allah. Andai belum bisa melakukan hal-hal besar, lakukanlah hal-hal yang kita anggap kecil. Memungut sampah, mengongkosi orang, menyeberangkan orangtua, dsb. Pokoknya, tiada hari tanpa berbuat kebaikan. Siapa pun yang gemar menebarkan kebaikan, maka ia akan dicintai Allah dan disayangi manusia.
Jika kita konsisten mengamalkan 5 AT ini, hidup akan lebih bermakna, cinta kasih serta pertolongan Allah pun akan selalu menyertai gerak langkah kita. Insya Allah.

Berbuat Lebih untuk Mendapat Lebih

Berbuat Lebih untuk Mendapat Lebih


Untuk menjadi anggota pasukan khusus, seorang prajurit harus melewati gemblengan dan serangkaian ujian sangat berat. Latihan-latihan yang mereka laksanakan cenderung keras, menakutkan dan berisiko. Tidak hanya risiko terluka, cacat, bahkan risiko kematian harus mereka hadapi. Sulit sekali prajurit "biasa-biasa" yang latihannya biasa-biasa dapat menjadi anggota pasukan khusus.
Saudaraku, untuk menjadi manusia hebat, kita harus mau melakukan hal lebih dari biasanya. Untuk menjadi anggota Kopasus saja, latihannya demikian serius, apalagi kalau kita ingin menjadi hamba pilihan di hadapan Allah. Kita harus mau berbuat lebih dari sekadar biasa-biasa saja. Kalau shalat, lakukanlah shalat terbaik, awali dengan wudhu terbaik, tepat waktu, di masjid, berjamaah, shaf terdepan (khususnya untuk laki-laki), khusyuk, menggunakan pakaian yang baik dan bersih, wangi-wangian. Lengkapi pula shalat fardhu kita dengan shalat rawwatib. Sangat wajar kita melakukan yang terbaik, bukankah kita akan menghadap Dzat Yang Mahasempurna?
Kalau berzikir, lakukanlah zikir terbaik, jangan asal-asalan. Libatkan hati dan perasaan, jangan sekadar lisan saja. Kalau membaca Alquran, lakukan dengan cara terbaik, tartil dan penuh penghormatan, walau kita tidak paham artinya. Kalau bersedekah, lakukanlah sedekah terbaik, penuh keikhlasan, tidak menyakiti yang diberi. Kalau bekerja, lakukanlah dengan cara terbaik, tidak asal-asalan dan menunda-nunda. Jadilah kita seorang profesional atau seorang expert (ahli).
Demikian pula shaum Ramadhan yang tengah kita jalani, lakukanlah sebaik mungkin. Jangan mau shaum kita tergolong shaum biasa-biasa saja. Jangan sekadar shaum menahan lapar, haus dan kantuk saja. Namun kendalikan pula pancaindra, pikiran dan hati kita dari hal-hal yang dilarang agama. Raih pula semua keutamaan Ramadhan, jangan disia-siakan. Lakukan amal-amal utama Ramadhan sebaik mungkin. Jangan takut melakukan sesuatu yang lebih dari yang orang lain lakukan. Intinya, berbuatlah lebih dari sekadar biasa. Insya Allah, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih pula.
Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak beramal atau sekadar melakukan yang biasa-bisa saja. Sebab Allah SWT telah menganugerahi kita be

ragam kelebihan dan potensi diri yang luar biasa. Bukankah kita diciptakan sebagai makhluk terbaik? Sebagaimana difirmankan dalam Alquran, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS At Tiin [95]: 4).
Bahkan seorang saleh, Abu Tammam namanya, menyebut ketidaksungguhan sebagai aib yang sulit dimaafkan. Ia berkata, "Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna".
Saudaraku, mengapa Rasulullah SAW dan para sahabat menjadi manusia-manusia unggul--yang disegani manusia dan disayangi Allah? Salah satu sebabnya, mereka mau berbuat lebih dan selalu berusaha melakukan amal terbaik. Akhirnya, mereka pun mendapat karunia lebih. Semoga kita bisa meneladani mereka. Amin


Membangun Jiwa Mandiri

Membangun Jiwa Mandiri

Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Satu hal yang telah hilang dari bangsa kita adalah harga diri. Betapa kita sangat bergantung kepada negara lain untuk pinjaman dan investasi. Tak aneh bila negara kita memiliki banyak utang sehingga mudah dipermainkan oleh negara yang meminjami utang tersebut.
Mengapa semua ini terjadi? Jawabnya, sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi yang dianggap serba berharga. Kita tidak sibuk membangun harga diri. Tidak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi, tapi perbuatannya rendah dan nista. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin. Kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber kemuliaan dan harga diri.
Sudah menjadi keniscayaan, setiap kita bergantung kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Bila kita dengan sepenuh hati bergantung kepada Allah SWT, maka yakinlah bahwa Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".
Dari sini jelas bahwa kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Orang yang mandiri, hidupnya akan bebas dan merdeka.
Keuntungan lain dari sikap mandiri adalah tumbuhnya rasa percaya diri. Kemandirian akan sumber kekuatan dan vitalitas dalam perjuangan. Orang yang percaya diri bisa melakukan pekerjaan jauh lebih banyak, kata-katanya jauh lebih bermakna, dan waktunya akan jauh lebih efektif daripada orang selalu bergantung kepada orang lain.
Dengan bersikap mandiri hidup akan terasa lebih tenang. Seorang istri tidak akan pernah khawatir ditinggal oleh suaminya, bila ia memiliki sikap mandiri. Ia tahu bahwa semua rezeki sudah diatur secara adil oleh Allah SWT. Tak ada satu pun makhluk kecuali sudah ditetapkan rezekinya. Tugas kita adalah menjemput dan mencari berkah dari karunia Allah SWT tersebut.
Kita harus mulai bangkit menjadi bangsa yang mandiri. Bangsa yang mandiri tidak akan pernah terwujud selama pribadi-pribadi yang menyusun bangsa tersebut tidak pernah belajar menjadi pribadi yang mandiri. Apa kuncinya? Pertama, mandiri adalah sikap mental. Jadi seseorang harus memiliki tekad kuat untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orang tua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu atau peminta-minta yang hanya bisa menyusahkan orang lain.
Kedua, kita harus memiliki keberanian. Berani apa? Berani mencoba dan berani memikul risiko. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah dan berkorban.
Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasian itu dengan diri kita. Semakin sering kita melawan rasa takut, insya Allah keberanian akan muncul perlahan-lahan. Tentu semua ada risikonya, tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan.
Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Menjalani proses adalah sunatullah. Negeri ini tidak mungkin berubah dalam sehari atau dua hari. Kita harus belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Perjuangan adalah nilai kehormatan kita yang sesungguhnya. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang dan menilai kegigihan kita dalam berproses. Keterpurukan yang menimpa bangsa kita, salah satu penyebabnya adalah karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil, tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.
Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang ini karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".
Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian yang kita lakukan mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Proses kemandirian yang sejati harus membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan rasa tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT, karena tidak ada sedikit pun kekuatan dalam diri kita kecuali dengan kekuatan dari Allah Yang Mahakuat.
Intinya, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam bish-shawab.

Meneladani Yang Mahabesar

Meneladani Yang Mahabesar


Semoga Allah Yang Mahabesar mengaruniakan kemampuan pada kita untuk mengenal diri, sehingga kita tidak tertipu topeng duniawi. Saudaraku, mengenal diri adalah syarat untuk menjadi lebih baik. Tidak mungkin kita bisa memperbaiki orang lain, kalau kita tidak bisa memperbaiki diri. Tidak mungkin kita bisa memperbaiki diri, kalau kita tidak berani jujur terhadap diri sendiri.
Allah adalah Al Kabir; Dzat Yang Mahabesar. Jagat raya yang demikian besar sepenuhnya ada dalam genggaman Allah. Demikian pula galaksi, matahari, planet, bumi, dan manusia yang menghuninya ada dalam genggaman Allah SWT. Semua itu teramat kecil dan tak berharga dalam pandangan Allah. Kalau dunia ini seharga sayap nyamuk saja, niscaya Allah tidak akan memberikan kekayaan kepada orang-orang kafir. Itulah sedikit makna Allahu Akbar; Allah Yang Mahabesar.
Karena itu, tatkala kita mendengar kumandang adzan, harusnya semua urusan duniawi menjadi kecil. Bisnis, rapat, pekerjaan, atau uang semuanya menjadi kecil. Allahlah Yang Mahabesar, hingga kita bersegera menuju panggilan tersebut. Begitu pun saat berperang. Seruan Allahu Akbar seharusnya menjadikan musuh-musuh kita menjadi kecil. Dengan memaknai Allahu Akbar tidak akan terlintas dalam diri kita untuk menjadi pengecut dan mundur dari pertempuran. Musuh adalah bonus yang diberikan Allah. Musuh adalah ladang amal. Orang yang mengenal Allah akan menjadikan kalimat laa khaufun 'alaihim walaahum yahzanun. Tidak ada yang ditakuti kecuali Allah, sebagai prinsip hidupnya.
Menganggap dunia kecil, bukan berarti kita harus meremehkannya. Tujuannya, kita harus mengantisipasi agar tidak menjadi penjilat. Boleh kita bergaul rapat dengan manusia, tapi hati kita jangan pernah berharap dari mereka. Harapan kita hanya kepada Allah semata.
Bila kita mengenal Allah Dzat Yang Mahabesar, maka tidak ada lagi tempat untuk merasa besar. Konsekuensinya bagai pipa U. Semakin mengangkat diri, maka akan semakin jatuh pula kita dibuatnya. Sebaliknya, semakin kita menekan diri ke bawah (rendah hati), maka akan semakin naik pula harga diri kita. Allah SWT sudah mendesain hati kita untuk tidak menyukai kesombongan dan menyukai orang rendah hati. Pertanyaannya, kita termasuk orang yang mana?
Saudaraku, sesungguhnya ingin dihormati adalah salah satu sifat manusia. Karena itu, ketika ia datang menghampiri, segera kita membelokkan. Cukuplah pujian dan penilaian Allah saja. Semakin kita tidak condong kepada dunia, maka kita akan semakin bahagia dalam hidup. Saya teringat sebuah pesan dari seorang alim. "Kamu akan nikmat dalam hidup dan dicukupi kebutuhannya. Satu saja syaratnya, jangan pernah berharap kepada makhluk." Karena itu, sesulit apapun situasi yang kita hadapi, kita harus mati-matian menjaga kehormatan diri. Kalau kita sudah menengadahkan tangan kepada manusia, pasti jatuh harga diri kita. Boleh saja kita terbatas ekonominya, tapi jangan sekali-kali kita membatasi harga diri kita. Inilah kekuatan iman. Keyakinan akan pertolongan Dzat Yang Mahabesar. Wallaahu a'lam